Keberadaan Dewa di sini harus Nina akui sangat lah membantu. Malah bisa dibilang lebih membantu dibanding Risyad dan Sisy yang hanya merakit rak bukunya saja butuh waktu berjam-jam lamanya. Sementara Dewa sudah selesai memasang tempat tidur, meja kerja, lemari, dan bahkan membantu Nina memaku lukisan-lukisan di dinding. Nina sebenarnya tidak heran dengan keahlian Dewa mengingat pria itu seorang Arsitek. Hanya saja, ia tak menyangka pria itu berada di sini demi menebus rasa bersalahnya.
Kejadian beberapa minggu yang lalu memang menyebalkan. Setiap kali mengingatnya, Nina pasti jengkel sendiri. Namun melihat bagaimana Dewa berusaha menebus kesalahannya membuat Nina agak luluh. Ia tidak mungkin terus memberi respon ketus pada pria yang sudah membantunya. Meskipun terkadang Dewa memang suka bikin Nina kesal sih.
Pria itu terlalu nyaman padanya sampai tak canggung berada di dalam kamar anak gadis—yang bahkan belum benar-benar Nina tempati. Nina sudah meminta Dewa meninggalkannya biar dia yang menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai. Tapi Dewa menolak dan bersikeras akan membantu Nina sampai selesai.
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore ketika semua perabotan selesai dirakit dan ditempatnya di tempat yang sesuai. Berkat bantuan Dewa dan Risyad, apartemen Nina lebih tertata. Tersisa beberapa kardus berisi barang-barang Nina—yang akan gadis itu buka secara bertahap. Tidak mungkin semuanya bisa selesai dalam satu hari. Nina juga merasa bantuan yang ia terima sudah lebih dari cukup. Ini saja Nina sudah merasa sangat merepotkan.
Sebab itu, Nina memesan makanan untuk disantap bersama sebagai ucapan terima kasihnya.
Kian
Beneran? Aku gak perlu ke sana?Nina
Iya, dek
Teman-teman kakak udah bantuin kok
Kamu langsung balik ke kostan aja terus istriahat ya."Kalau gue jadi lo sih, Nin," suara Risyad membuat Nina menyimpan ponselnya ke saku celana. Lalu menatap pria itu yang duduk di sofa bersama Sisy. Sementara Nina berdiri di dekat jendela. Sedangkan Dewa bersandar di dinding di seberangnya. "Bakal minta ganti rugi. Nggak apa-apa. Minta aja yang banyak. Dewa duitnya banyak, kok."
Sisy dan Dewa kompak tertawa.
"Nina nggak mungkin kayak gitu, Mas." Sahut Sisy. "Beda lagi kalau yang Mas Dewa tabrak Nalendra. Dia mah selalu mengambil keuntungan dalam kesempitan."
"Nalendra siapa?" tanya Risyad serius dengan ekspresi curiga.
Sisy tersipu karena nada cemburu di suara Risyad. "Teman kantor. Tapi satu divisi dan setim sama Nina. Dia anaknya suka cari keuntungan. Apalagi sama Nina yang emang kelemahannya itu dedek-dedek gemes."
"Oh," Risyad manggut-manggut. Lalu mengerling jail pada Dewa. "Yah, sukanya dedek-dedek gemes, Wa. Bukan om-om kayak lo."
Dewa mengulum bibirnya. Tahu Risyad hanya bercanda, ia pun menanggapi. "Dia belum kena aja pesonanya om-om." Balas Dewa sambil mengarahkan pandangannya pada Nina—yang alih-alih tersipu malah bergedik ngeri.
Dewa menggigit bibirnya menahan tawa. Nina benar-benar tidak mempan dengan pesonannya. Sebenanya, bukan Dewa merasa dirinya sempesona itu sampai semua wanita akan menyukainya. Hanya saja, Nina terlalu jelas menunjukkan jika dia tidak tertarik pada Dewa. Dan hal itu membuat Dewa ingin menggodanya.
"Nina bukannya suka dedek-dedek gemas kok, Mas. Dia lemah sama cowok lebih muda soalnya suka keinget adeknya sendiri." Sebagai teman yang baik, Sisy membantu menjelaskan. Ia senang sekali jika memang ada sesuatu antara Dewa dan Nina di masa depan. Sewaktu Risyad memberitahu kalau Dewa akan ikut membantu Nina pindahan, Sisy memekik senang di kamarnya. "Nina sukanya cowok yang lebih tua. Iya kan, Nin?"
"TMI, Sisy!" tegur Nina yang baru saja memeriksa ponselnya yang berdenting. "Mending lo temenin gue ke bawah ngambil gofood," katanya seraya mendekati Sisy dan menarik tangan gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Called It Love
General FictionDibuat patah hati oleh orang yang paling ia sayangi membuat Kanina muak akan hubungan asmara. Ia tak lagi tertarik menjalin hubungan dengan siapa pun. Lebih baik ia sendirian sehingga tak perlu takut disakiti. Sampai seorang pria yang bekerja di tow...