02 | in between

847 152 35
                                    

Dewa tiba di kantor sambil menguap panjang—tangannya yang dilingkari jam tangan rolex bergerak mengusap lehernya yang terasa tegang karena semalam duduk berjam-jam di meja kerjanya; meninjau kontrak dan desain dari proyek yang sedang timnya kerjakan. Yeah, jabatan sebagai arsitek senior jelas tak membuat Dewa bisa leha-leha. Ia tetap saja kurang tidur.  Apalagi dengan proyek-proyek yang tampaknya tak pernah berakhir. Tidak berhenti di sana, dua jam lagi ia harus meeting dengan klien—Dewa bisa membayangkan betapa berat dan panas kepalanya nanti.

"Ntar bonus lo, gue tambahin. Terus gue kasih cuti juga biar lo bisa healing sama cewek lo. Proyek ini penting banget, bro. Lo tahu, cuma lo yang gue percaya megang ini proyek. Kalau sampai gagal, kepala gue bisa dipenggal sama bokap gue." Begitu kata Peter—principal architect di Batara—yang juga sekaligus temannya sejak kuliah. Sebagai anak dari pemilik perusahaan, Peter memang terkadang suka menggampangkan semual hal. Untung saja, Dewa masih betah berteman dengannya.

"Lo mau ngehina gue, ya?" delik Dewa waktu itu. Sebab Peter juga tahu Dewa sudah lama tidak memiliki kekasih.

Peter cengengesan. "Lo, sih. Sok jual mahal banget. Kemarin gue kenalin sama temen cewek gue, lo cuek aja. Padahal Izzy kurang apa coba? Udah cantik, pinter, seksi, dan dia kelihatan banget interest sama lo! Atau jangan-jangan lo belum move on, ya? Really, bro? Debby kan—"

Dewa langsung pergi meninggalkan Peter karena malas mendengarkan omong kosong pria itu. Tidak di saat ia sedang banyak pekerjaan yang harus ia urusi. Dan Peter sekarang semakin membebankannya dengan proyek baru.

"Begadang, Mas?" Sofia—drafter yang berada di timnya menyapa ramah di balik kubikelnya ketika Dewa lewat.

Dewa tersenyum—memunculkan lesung pipi di sebelah kiri—sambil menganggukkan kepalanya. Terlihat begitu manis sampai Sofia merasakan perutnya tegang. "Iya nih, Sof."

"Eh, Mas. Udah datang lo," pria tinggi berkulit putih yang memakai kemeja biru itu tersenyum ketika melihat Dewa. Dua bolongan tercetak di pipinya. Pandangan Dewa beralih pada Garendra, aristek junior yang berada dalam timnya. "Ada yang mau gue diskusiin sama lo, Mas."

Garendra buru-buru mengambil laptopnya lalu berjalan bersama Dewa menuju meja pria itu. Dalam waktu singkat, mereka langsung terlibat dalam diskusi yang serius. Dewa melipat tangannya, mendengarkan Garendra yang tengah menjelaskan sesuatu di laptopnya dengan tatapan serius. Membuat Sofia hanya bisa menggigit bibir memandangi atasannya. Menahan diri agar tidak meneteskan air liar ... karena ... God, he's so hot as hell.

Bagaimana bisa pria yang begadang semalaman dan kurang tidur masih terlihat setampan dan segagah ini?

Bapak Dewa memang pantas diberi nama Dewa karena dia memang terlihat seperti Dewa untuk semua hal. Tubuhnya tinggi dan tegap, wajahnya tampan, karirnya cemerlang—belum lagi dia berasal dari keluarga terpandang. Ia tidak tahu harus merasa beruntung atau tidak karena berada di tim pria-pria tampan. Semakin lama berada di dekat mereka, Sofia jadi semakin ingin tidak tahu diri.

Mendambakan pria-pria yang di luar jangkuannya.

Terlalu lama memandangi wajah tampan Dewa dan Garendra—Sofia sampai lupa jika Nina menitipkan sesuatu padanya untuk diberikan pada Dewa.

Sewaktu Nina tiba-tiba menghubunginya—terus ternyata bermaksud menitipkan sesuatu pada Dewa—Sofia langsung memicingkan mata curiga. Pasalnya, bukan hanya Nina seorang yang pernah menjadikkannya 'Neng Kurir'. Hampir sebagian cewek-cewek lajang di tower ini juga pernah memanfaatkan Sofia untuk hal tersebut. Dan sekarang, Sofia tidak mau lagi dimanfaatkan. Enak saja!

"Sejak kapan lo naksir Mas Dewa?" tuding Sofia tanpa basa-basi sambil melipat tangan.

"Huh?" Nina mengerjap. Keningnya berkerut bingung. "Apa sih?! Siapa yang naksir dia juga!"

Called It LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang