BAB 4

19 3 0
                                    

Hujan minggu pagi baru saja berhenti. Kabut tipis masih menyelimuti pekarangan, menciptakan suasana yang misterius. Tetesan air hujan masih menari di ujung dedaunan, memantulkan cahaya mentari pagi. Semilir angin membawa aroma kopi dan roti panggang dari dapur. 

Langit biru yang cerah tanpa cela, seolah menjadi kanvas bagi burung-burung yang sedang menari di langit luas. Suasana pagi yang sempurna untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. 

Dari pagi sekali Renata sudah sibuk didapur. Memanggang roti dan membuat kopi untuk suaminya. Membuatkan sarapan untuk anaknya juga yang mulai bisa makan nasi. 

"Ini Mas kopi dan rotinya, hati-hati masih panas." Hasan mengangguk begitu Renata menaruh secangkir kopi dan beberapa potong roti di depannya. Dia sedang sibuk bermain dengan anaknya yang mulai diajari berjalan. 

Renata duduk sambil menyuapi Aslan dengan nasi yang di penyet menggunakan sendok. Hasan mengambil sepotong roti dan memakannya sambil memangku Aslan yang tengah di suapi oleh ibunya. 

Gelak tawa bayi mungil itu memenuhi ruang keluarga. Hasan dan Renata asyik bermain dengan Aslan yang sudah menyelesaikan sarapannya. 

Pranngg!!! 

Tiba-tiba, terdengar suara benda jatuh dari arah dapur yang memecah keheningan. Mereka yang sedang bermain dengan Aslan tersentak kaget. Mereka sontak terdiam sambil saling pandang. Sama-sama berpikir, suara apa barusan?

"Ada apa, ya?" tanya Renata penasaran. Hasan mengangkat bahunya.

Dengan hati berdebar, Renata melangkah cepat menuju dapur. Sesampainya di sana, ia mencari-cari sumber suara. Semua tampak normal, tidak ada yang berantakan. Kejadian itu meninggalkan rasa was-was dalam hatinya. 

Kemudian ia kembali ketempat anak dan suaminya. "Ada apa?" tanya Hasan penasaran. 

"Nggak ada apa-apa kok. Semuanya aman masih rapi,"Jawab Renata sambil kembali duduk. Walaupun kebingungan mereka tidak menghiraukan kejadian barusan dan lanjut bermain dengan Aslan. 

Mentari sore mulai meredup, meninggalkan warna jingga lembut di langit. Di teras rumah, Hasan duduk di kursi goyang, tangannya sibuk mengelus kepala kecil anaknya yang tertidur pulas di pangkuannya. 

 "Sayang, dia udah tidur," kata Hasan, menoleh ke arah Renata yang sedang menyiram tanaman di pot. 

Renata tersenyum, matanya memancarkan kelembutan. "Biarkan dia tidur dulu, biar dia bisa kuat bermain besok," jawabnya. 

Hasan mengangguk, matanya tak lepas dari wajah mungil Aslan yang damai. Ia merasa bahagia melihat buah hatinya yang sehat dan tumbuh dengan baik. 

"Kamu capek, Sayang? Mau aku urut?" tanya Hasan, tangannya terulur ingin mengelus punggung istrinya. 

Renata tersenyum, menggeleng pelan. "Nggak usah, aku masih kuat. Kamu aja yang istirahat, biar aku yang urus Aslan nanti," jawabnya. 

Hasan menghela napas, "Ya udah, kalau kamu bilang begitu. Tapi, jangan capek-capek, ya." 

Renata mengangguk, "Iya, Sayang. Kamu juga istirahat, jangan terlalu capek kerja." 

Hasan tersenyum, mengecup kening Renata. "Iya, Sayang. Aku sayang kamu." Renata membalas dengan senyuman hangat, "Aku juga sayang kamu." 

Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati suasana sore yang tenang. Hanya suara gemericik air yang menyiram tanaman dan kicauan burung yang menemani mereka. 

Aslan  mulai bergerak, tangannya mengepal erat. Hasan tersenyum, mencium pipinya yang lembut. "Kamu mimpi apa, Sayang?" bisiknya. 

Renata mendekat, mengelus lembut rambut anaknya.  "Tidur yang nyenyak, Sayang. Mama dan Papa sayang kamu." 

Love That KillsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang