BAB 7

14 3 0
                                    

Senja menyapa dengan lembut, menyelimuti bangunan rumah dua lantai milik Renata dengan warna jingga kemerahan. Di teras, Renata duduk di kursi rotan, tangannya sibuk mengelus punggung anaknya yang tengah tertidur pulas. 

Hingga langit beranjak gelap mereka masih tetap disana. Tak berpikir macam-macam dan terus mengelus punggung Aslan dengan lembut. 

Tak lama ia beranjak dari duduknya. Melangkah masuk kedalam rumahnya dan mengunci pintu. Meletakkan anaknya yang tengah tertidur di kasur dan pergi kedapur untuk memasak. 

"Masak apa ya buat malam ini?" tanyanya pada diri sendiri sambil membuka kulkas. 

"Masak sup ayam aja mungkin ya, udah lama nggak makan sup ayam," ucapnya  sambil mengambil bungusan plastik bening berisi sayap ayam. "Iya masak sup aja lah," lanjutnya. 

Karena suaminya sedang dinas diluar kota, maka ia hanya masak sedikit. Ia mulai mencuci ayam dan sayuran yang akan ia jadikan sup. 

Awan hitam bergumpal-gumpal. Udara terasa lebih dingin, angin berdesir pelan, membawa aroma tanah basah yang khas menjelang hujan. 

Jendela dapur yang masih sedikit terbuka mulai bergetar. Angin yang tadinya berbisik, kini berdesir kencang, menggoyang kusen jendela dengan kuat. 

Brakk... 

Jendela terbanting menutup dengan keras, menghasilkan suara yang cukup mengagetkan. Seolah jendela itu ingin berteriak.

Renata buru-buru menutup jendela dan menguncinya rapat-rapat. Ia lalu melanjutkan memotong membuat sup.

Di luar, langit semakin gelap, petir menyambar semakin sering, dan guntur menggelegar semakin keras. Tak menunggu lama, hujan pun turun dengan derasnya. Mengguyur jalanan yang semenjak siang tadi terbakar sinar matahari. 

Pohon-pohon bergoyang, daun-daun berdesir kencang, seakan menari mengikuti irama angin yang mulai berputar semakin cepat. Hujan semakin lebat membuat hawa dingin semakin menusuk.

Tak lama Renata selesai memasak sup. Ia mengambil semangkuk dan membawanya kekamar dengan sepiring nasi.

Aslan sudah terbangun. Ia tampak ketakutan begitu mendengar suara petir yang menggelegar di luar. "Makan dulu yuk sayang," ucap Renata sambil memangku anaknya. 

"Mamm..." ucap Aslan sambil manatap Ibunya.

"Iya mam dulu ya, aaaa" ucap Renata sambil menyupkan sesendok nasi yang di haluskan. 

 Selesai makan Renata mencuci alat maknnya lalu kembali kekamar. Ia memeluk Aslan erat karena udara yang semakin dingin.

***

Matahari semakin meninggi, menampakkan sinarnya yang menghangatkan tubuh. "Aslan main sama Papa dulu ya sayang Mama mau cuci baju dulu," ucap Renata. 

"Sayangg! Tolong ajak main anaknya dulu dong aku mau cuci baju," teriak Renata sambil berjalan menuju ruang tengah. 

"Iya sini, Aslan sama Papa dulu ya sayang," ucap Hasan sambil memangku anaknya. 

Renata pun segera menuju ke kamar mandi. Ia mencuci baju yang lumayan banyak menggunakan mesin cuci yang berada di sebelah dapur. 

Tiba-tiba, suara berderit pelan terdengar dari arah dapur. Renata mengernyit, jantungnya berdebar kencang. Dia berdiri dan berjalan perlahan menuju dapur. 

Renata mendekat ke arah sumber suara. Dia melihat sebuah bayangan samar-samar bergerak di balik lemari dapur. "Siapa di sana?" tanya Renata, suaranya mulai bergetar. 

Bayangan itu tidak menjawab. Renata semakin takut. Dia meraih pisau dapur yang tergeletak di dekat wastafel. "Keluar!" teriak Renata, suaranya bergetar hebat. 

Bayangan itu berbalik. Renata tersentak kaget. Dia melihat sosok wanita berambut panjang dengan wajah pucat pasi. Matanya hitam, menatap Renata dengan tatapan kosong. "Kau siapa?" tanya Renata, suaranya nyaris tidak terdengar. 

Sosok itu tidak menjawab. Dia hanya berdiri terdiam, menatap Renata dengan tatapan tajam. "Pergi! Jangan ganggu aku!" teriak Renata, matanya berkaca-kaca. 

Sosok itu tidak bergerak. Dia hanya menatap Renata dengan tatapan dingin. Renata berteriak memanggil nama suaminya. "Masss! Mas Hasann!" teriaknya. Namun, Hasan tidak menjawab. 

Renata semakin panik. Dia berlari ke ruang tengah dimana suami dan anaknya berada. "Mas Hasan!" panggil Renata, suaranya bergetar hebat. Ruang tengah kosong.

Renata panik. Dia berlari ke seluruh rumah, mencari suami dan anaknya. "Mas! Kalian dimana?" teriak Renata, suaranya bercampur dengan isak tangis. 

Renata mencari mereka di setiap sudut rumah. Dia memeriksa setiap ruangan, setiap lemari, setiap celah. Namun, mereka tidak ditemukan. "Mas!" teriak Renata, suaranya semakin lemah. 

Renata terduduk lemas di lantai. Dia merasa putus asa. Di mana anak dan suaminya? Apa yang terjadi pada sebenarnya? Tiba-tiba, dia mendengar suara pintu depan terbuka. 

"Sayang! Kamu kenapa?" tanya Hasan berlari menghampiri istrinya. "Hey kamu kenapa nangis?" tanyanya lagi. 

Renata tak menjawab, ia menghambur kepelukan suaminya. "Aku takut Mas, aku takutt," ucapnya dengan isakan tangis yang membuat suaranya bergetar. 

"Kamu takut kenapa? Ada apa?" 

Renata menceritakan kejadian yang barusan ia alami dengan masih terisak. "Aku takut Mas, aku capek di ganggu seperti ini," ucapnya semakin terisak. 

"Hey udah ya, hari ini kita kerumah mama aja ya kita nginap disana untuk sementara sambpai kamu tenang, oke?" ucap Hasan sambil memeluk istrinya erat. 

Tanpa mereka berdua sadari sosok wanita berambut panjang itu berdiri di dekat pintu dapur, menatap mereka cukup lama dengan tatapan tajam. Seolah tidak suka dengan pemandangan yang ia lihat. 

Tanpa sengaja Hasan melihat kearah sosok itu. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya naik turun tak beraturan. Sosok itu tidak bergerak. Dia hanya menatap mereka dengan tatapan dingin. 

"Ayo sayang kita kerumah mama sekarang," kata Hasan sambil menopang tubuh istrinya yang sudah lemas karena ketakutan. 

Mereka langsung membereskan beberapa pakaian dan barang-barang yang akan mereka bawaa. Termasuk barang-barang milik anak mereka. 

Hasan bergegas mengeluarkan mobil dan memasukkan barang bereka ke bagasi. "Ayo sayang masuk, kita jalan sekarang."

Angin mendadak bertiup kencang. Menyambar pohon-pohon di pinggir jalan dengan kuatnya. Hawa dingin tiba-tiba menusuk hingga ke tulang. 

Hasan semakin cepat melajukan mobilnya. Sedangkan Renata memeluk anaknya yang tertidur dengan erat. Tiba-tiba, suara rem berdecit keras mengagetkan mereka. 

Mobil di depan mereka mengerem mendadak, menghindari sebuah truk yang melaju kencang di jalur berlawanan. Hasan berusaha keras untuk menghentikan mobil, tapi terlambat. 

Mobil mereka menabrak bagian belakang mobil di depannya dengan keras. Seketika, dunia terasa berputar. Hasan dan Renata merasakan sakit yang menusuk di kepala dan dada. 

Aslan mereka yang tertidur pulas, terbangun dengan histeris, menangis dengan keras. Mobil mereka ringsek di bagian depan, udara dipenuhi bau logam dan asap. 

Hasan berusaha bangkit, tapi kepalanya terasa pusing, tubuhnya terasa lemas. Renata juga terbaring di kursi, wajahnya pucat pasi, tangannya memegangi perutnya yang terasa sakit. 

Mereka berdua berusaha menenangkan bayi mereka yang menangis histeris, tapi rasa sakit yang mereka rasakan membuat mereka sulit untuk bergerak. 

Di luar, orang-orang berkerumun, membantu mengeluarkan mereka dari mobil yang ringsek. Ambulans datang dengan sirene yang meraung-raung, menjemput mereka ke rumah sakit. 

Di tengah hiruk pikuk kecelakaan, Hasan dan Renata hanya bisa saling memandang, mata mereka dipenuhi rasa takut dan kepanikan. Mereka berdua berharap, anak mereka yang masih kecil, selamat dari kecelakaan ini.  

Love That KillsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang