BAB 9

14 2 0
                                    

Satu minggu pun berlalu setelah kejadian naas itu. Hasan perlahan sudah mulai pulih begitu pun dengan anak mereka yang sudah semakin aktif merangkak kesana kemari.

"Kami sudah mendapatkan donor darah untuk pasien, kami akan segera melakukan transfusi darah," kata dokter setelah selesai memeriksa keadaan Renata.

"Baik dok, tolong lakukan segera," jawab Hasan.

Dokter itu kembali masuk ke dalam ruang rawat intensif. Keluar dengan membawa tubuh Renata yang terlihat sangat lemah. Kemudian di bawa masuk ke ruang operasi, untuk segera dilakukan operasi.

Hasan menunggu dengan cemas di luar ruangan. Memangku anaknya sambil duduk di sebuah kursi panjang.

Tak lama kedua orang tua mereka pun datang setelah membereskan beberapa hal di rumah. Berjalan tergesa-gesa menuju depan ruang operasi.

Mereka menunggu disana dengan cemas. Tak henti-hentinya memanjatkan doa dalam hati. Berharap Renata akan baik-baik saja.

Operasi itu memakan waktu beberapa jam lamanya. Mereka masih setia menunggu di sana. Hingga dokter yang menangani Renata pun keluar.

"Gimana dok istri saya?" tanya Hasan buru-buru.

"Kami telah selesai melakukan operasi. Sekarang tinggal menunggu pasien sadarkan diri, tapi mungkin membutuhkan beberapa waktu," jelas dokter itu kemudian pergi.

Ada perasaan lega dan sedih bercampur aduk di dalam hati mereka. Di satu sisi mereka lega karena operasinya berjalan lancar namun mereka juga sedih karena Renata belum juga sadarkan diri.

Hingga beberapa hari kemudian, Renata belum juga sadarkan diri. Mereka secara bergantian menjaga Renata. Sambil terus berdoa untuk kesembuhannya.

Mereka terus bergantian menjaga Renata. Menantinya sadar dari komanya dengan penuh harap-harap cemas.

"Papa sama Mama pulang dulu ya San, kamu disini jaga Rena sama Aslan," ucap Herman menepuk pelan punggung anaknya.

"Iya nak kamu jaga Rena dulu ya, Mama sama Papa pulang dulu ambil beberapa keperluan buat disini."

"Iya Mama sama Papa hati-hati di jalan ya."

Hasan mengantar mereka hingga ke depan pintu. Ia keluar sebentar untuk membeli beberapa makanan untuk Aslan.

Anaknya itu sering sekali rewel membuatnya kesusahan dalam menjaganya. Biasanya saat Aslan menangis selalu ada Renata yang bisa menenangkannya.

Tapi kini dirinyalah yang harus mengurus anaknya itu sendiri. Walaupun terkadang di bantu oleh orang tua dan juga mertuanya. Tapi kalau mereka sedang tidak ada mau tidak mau dirinya sendiri yang harus melakukannya.

Apalagi sekarang dia harus mengurus anak dan juga istrinya. Sebenarnya ia tak masalah, tapi yang membuat ia merasa seperti tak mampu melakukannya adalah karena melihat istrinya yang masih terbaring lemah. Hal itu membuatnya semakin merasa bersalah.

***

Matahari semakin meninggi menuju puncaknya. Awan-awan tersibak menampakkan birunya langit yang terlihat sangat indah diatas sana.

Hasan memandangi langit indah itu sedari tadi. Mamikirkan istrinya yang hingga sekarang sudah hampir satu bulan belum juga sadarkan diri.

Ceklekk

Suara pintu yang dibuka dengan sedikit kasar. Seorang wanita berlari masuk dengan wajah panik. Napasnya terengah-engah naik turun tak karuan.

"Fiola!?" sapa Hasan terkejut.

"Gimana keadaan kalian? Baik-baik aja kan?" tanya wanita bernama Fiola itu. Ia adalah sahabat baik Renata dari semasa mereka SMP.

"Kalau aku sama Aslan sih udah baikan Fi, tapi Rena masih belum sadar juga dari komanya," kata Hasan sambil memandang istrinya yang terbaring lemah penuh alat medis di tubuhnya.

"Kenapa bisa sampai seperti ini?" Hasan kemudian menceritakan kronologi sebelum ia akhirnya pingsan saat akan di keluarkan dari mobilnya yang sudah ringsek.

Fiola diam sebentar. Raut wajahnya berubah, seolah ada emosi yang ia sembunyikan. Dia terus memandangi sahabatnya itu lekat.

"Kenapa dia tega sampai sejauh ini?" gumamnya lirih.

"Kenapa Fi?" tanya Hasan yang tidak mendengar jelas ucapan Fiola.

"A-Ah semoga Rena cepat sadar dari komanya," kata Fiola tersenyum canggung.

"Ohh iya semoga aja," jawab Hasan. "Jujur aku merasa bersalah banget karena dengan tergesa-gesa mengajak Rena kerumah mama kemarin," ucap Hasan sambil menitikkan air mata.

"Itu nggak sepenuhnya salah kamu juga kok San, jangan dipikirin ya. Sekarang kita berdoa aja semoga Rena cepat sadar," ucap Fiola menenangkan suami sahabatnya sekaligus temannya itu.

"Maaf ya aku baru bisa jenguk kalian sekarang, aku baru kembali dari Aussie kemarin," kata Fiola.

"Nggak apa-apa Fi, kamu kan juga sibuk disana. Aku udah berterimakasih banget kamu datang buat jengukin kita."

Tinggg

Bunyi notifikasi dari ponsel Fiola. Ia membukanya, membaca pesan yang tertampil di layar. Tak lama Fiola berpamitan pulang. Ia langsung buru-buru keluar seolah ada yang sedang memanggilnya untuk segera datang.

Hasan hanya mengangguk sebentar. Matanya mengantar kepergian Fiola hingga menghilang di balik pintu ruangan yang tertutup kembali secara otomatis.

Ia kembali menatap istrinya yang terbaring lemah di kasurnya. "Sayang kamu cepat sadar ya, aku kangen banget sama kamu," ucap Hasan sambil menggenggam tangan istrinya.

Dia menyeka wajah istrinya yang seolah lelap tertidur dengan handuk yang setengah basah. Mengelap wajah lembut Renata dengan perlahan mengelus tangannya yang lemas.

Love That KillsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang