VOTE
FOLLOW
KOMEN
####
"Jangan pernah berharap pada siapa pun, karena harapan yang digantungkan bisa runtuh tanpa peringatan."—SB
Luna berbaring di atas batu dingin, merasakan setiap denyutan sakit dari luka-lukanya yang menganga. Kegelapan telah menghancurkan tubuhnya, bukan hanya secara fisik, tapi juga batin. Darah kering menghiasi kulitnya, sementara udara di gua tempatnya berlindung terasa begitu dingin dan menusuk tulang.
Gua ini adalah tempat yang tak pernah ia bayangkan akan menjadi rumahnya. Sebuah tempat di mana cahaya bulan hanya masuk melalui celah-celah kecil di langit-langit, memberikan sedikit penerangan yang nyaris tak bisa menghangatkan hati yang telah hancur berkeping-keping.
Dengan susah payah, Luna mengangkat tangannya, melihat luka-luka yang terus mengeluarkan rasa sakit di setiap hembusan napas. Kegelapan yang berasal dari Amara begitu kuat, lebih kuat dari yang pernah ia duga. Tidak ada yang tersisa dari sahabatnya yang dulu. Dan sekarang, ia sendirian, terluka parah, tidak hanya secara fisik, tapi juga emosional.
Dia menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan energi. Di sudut gua, sebuah sumber air kecil berkilauan dalam remang cahaya. Dengan langkah lemah, Luna menyeret tubuhnya ke sana, tangannya gemetar saat meraih air dengan jari-jarinya yang dingin. Ia menyeka luka-luka di tubuhnya, tetapi rasa sakit yang menyiksa dari dalam tidak akan hilang begitu saja.
Setiap kali air menyentuh kulitnya yang robek, Luna menahan desahan kesakitan. Tubuhnya tidak seperti dulu lagi; kekuatan bulan yang biasa memberinya energi, seolah-olah menolak untuk membantunya kali ini. Dia menatap cermin air, memandang wajahnya yang kini tampak lelah dan hampa. Di balik sorotan mata yang pernah bersinar penuh harapan, ada bayangan keraguan dan luka batin yang begitu dalam.
"Luna... apa yang telah terjadi padamu?" bisiknya kepada bayangannya sendiri. Air mata mulai mengalir, tidak terbendung lagi. Semua yang pernah ia perjuangkan terasa runtuh seketika. Persahabatan, cinta, janji-janji yang diberikan Raynar—semuanya sekarang terasa kosong dan tak bermakna.
Di tengah tangisan itu, ingatannya kembali pada masa saat hukuman itu dijatuhkan padanya. Ketika para tetua bulan, termasuk Raynar, memutuskan nasibnya. Mereka, yang seharusnya melindunginya, malah memutuskan untuk mengasingkannya. Dan Raynar, orang yang pernah bersumpah akan selalu berada di sisinya, malah mendiamkan dan mengkhianatinya.
“Raynar…” nama itu terucap di bibirnya, penuh dengan rasa sakit yang menyesakkan dada. Luna tak dapat memahami bagaimana Raynar bisa begitu cepat berubah, bagaimana dia bisa diam saat Luna dituduh atas kesalahan yang bahkan bukan sepenuhnya miliknya.
Dia ingat saat-saat terakhir di bulan, sebelum dia diasingkan ke bumi. Suara para tetua bulan bergema dalam pikirannya, seperti gema dari masa lalu yang tak mau hilang.
“Luna, karena perbuatanmu yang dianggap mencemari kesucian bulan, kami menghukummu untuk diasingkan. Tidak ada jalan kembali hingga waktu yang tidak ditentukan.” Suara itu keras dan dingin, tanpa belas kasih sedikitpun.
Di saat itulah, Luna menoleh ke arah Raynar, berharap ada sedikit perlawanan dari dirinya, atau setidaknya, dukungan. Namun, yang ia temui hanyalah tatapan kosong dari seseorang yang dulu ia percayai sepenuh hati. Dan itu jauh lebih menyakitkan daripada hukuman yang mereka jatuhkan padanya.
"Kenapa kau diam, Raynar?" Luna meratap lirih di dalam gua, meski tidak ada yang bisa mendengarnya. "Kau berjanji akan melindungiku... tapi kau yang pertama membiarkan aku jatuh."
Setiap kali ia mengingat janji itu, hatinya semakin hancur. Janji yang dulu terasa seperti pijakan yang kokoh kini terasa seperti pasir yang mengalir dari genggamannya. Rasa pengkhianatan itu membanjiri dadanya, membuatnya sulit bernapas.
Di luar gua, malam semakin larut. Cahaya bulan yang memantul melalui celah-celah di atap gua terasa dingin, seolah-olah ikut meninggalkannya. Bulan, yang dulu selalu menjadi sumber kekuatan dan penghiburannya, kini hanya menjadi pengingat akan kehidupan yang telah hilang.
Luna menggerakkan tangannya ke arah bulan, meskipun tahu cahaya itu tidak bisa lagi menyentuhnya seperti dulu. Dihukum untuk hidup di bumi, jauh dari semua yang ia cintai, ia merasa terputus dari sumber kekuatan yang selama ini menopangnya. Cahaya bulan yang dulu memberinya kekuatan kini terasa seperti musuh yang tak dapat dijangkau.
Tiba-tiba, dia merasakan air mata panas mengalir di pipinya lagi. “Aku benci ini… Aku benci semuanya,” suaranya pecah di udara yang sepi. “Mengapa aku harus menanggung semua ini sendirian?”
Dalam kesunyian gua itu, Luna mulai mengerti satu hal dia benar-benar sendirian sekarang. Tidak ada lagi Raynar, tidak ada lagi Amara, dan bahkan tidak ada lagi cahaya bulan yang bisa menghiburnya. Semua yang pernah ia cintai kini terasa jauh, seperti mimpi yang tak lagi dapat ia genggam.
Namun, di balik semua rasa sakit dan kesedihan itu, ada sesuatu yang lain. Sebuah tekad. Meski dunia seolah memunggunginya, Luna mulai merasakan percikan kecil harapan yang pernah ia miliki. Mungkin dia sendirian sekarang, tapi dia tahu satu hal: dia tidak akan membiarkan kegelapan, atau siapa pun, menghancurkan sisa-sisa dirinya.
"Aku akan bangkit," gumamnya, suaranya bergetar dengan emosi yang masih tersisa. "Aku tidak akan membiarkan ini mengalahkanku."
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Luna menatap bulan sekali lagi, seolah mencari kekuatan dari kejauhan. Mungkin Raynar telah mengkhianatinya, mungkin Amara telah meninggalkannya, tapi Luna tahu bahwa dia harus menemukan jalan untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Jalan untuk melawan kegelapan, bukan hanya yang mengancam dunia, tapi juga yang ada di dalam dirinya.
Tangannya yang gemetar menyeka air mata terakhir di pipinya. Luka di tubuhnya mungkin masih terbuka dan menyakitkan, tapi luka di hatinya, meskipun lebih dalam, mulai sedikit sembuh. Dia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir. Kegelapan mungkin telah menyeretnya jatuh, tetapi dia akan menemukan cara untuk bangkit.
Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Aku akan memperbaiki semuanya. Entah bagaimana caranya, aku akan melawan."
Dan dengan tekad itu, Luna bangkit dari tempatnya, meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Ini adalah awal dari kebangkitannya. Tidak peduli seberapa sakitnya, tidak peduli seberapa jauh dia telah jatuh, dia tahu bahwa dia akan berjuang. Tidak untuk Raynar, bukan untuk Amara, tapi untuk dirinya sendiri.
VOTE!
FOLLOW!
KOMEN!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Bulan
FantasyLuna bukanlah gadis biasa. Terlahir sebagai salah satu penghuni bulan, dia menjalani hidupnya dengan damai di bawah sinar purnama bersama sahabat-sahabatnya. Namun, kehidupan Luna berubah drastis setelah sebuah tragedi yang melibatkan sahabat karibn...