Chapter : 001

27 15 2
                                    

Skandal Trauma : 001

Manusia tak luput dari kesalahan.
Dan manusia juga tak luput dari kebodohan.


Xandra meletakkan kembali handphone nya ke atas meja dengan frustasi.

Penculikan kembali terjadi setelah seminggu ini. Polisi dibuat semakin kelimpungan karena hal tersebut. Jejak yang ditemukan seakan tak cukup untuk menemukan letak para korban. Kembali, remaja sekitaran sekolah yang menjadi sasaran penculikan.

Sekiranya berita yang benar-benar marak akhir-akhir ini. Orang tua siswa bahkan hampir setiap hari datang untuk menanyakan perkembangan pencarian. Namun, pada nyatanya, para pihak sekolah pun seakan menutupi kasus ini. Polisi pun seakan tak mengusut tuntas kasus tersebut.

Tentunya, Xandra mengetahui hal tersebut. Bukan hanya dia, melainkan hampir seisi sekolah. Tidak ada yang tidak tau kelakuan bejat orang dalam dibalik para guru tersebut.

Yang pasti, memiliki kekuasaan yang cukup untuk membungkam para manusia yang terbutakan oleh Tuhan berwarna Merah itu.

Samar-samar ia dapat mendengar suara dari sampingnya. Perpustakaan sekolah tempatnya saat ini. Tentu saja, pembicaraan yang tak lain membahas hal tersebut.

Namun, anak-anak disini tidak lagi dapat dengan nyaman mengejek. Satu kata yang keluar rasanya adalah hal-hal serius yang terlontar. Jika hanya lelucon? Tak ada seorang pun disini yang melakukan hal tersebut setelah penguasaan neraka di sini.

Lebih tepatnya, penguasaan orang dalam yang menyalahgunakan suatu kekuasaan masyarakat.

Ia memasang telinga dengan jeli. Tidak terlalu menampakkan bahwa ia sedang menguping. Karena, orang-orang disini sebenarnya memanglah munafik.

Termasuk dirinya sendiri.

Tekanan neraka yang membuat mereka menahan segala gejolak yang ingin keluar. Amarah, emosi, dan yang bodohnya hanya bisa dipendam akibat bungkam terhadap kuasa. Sangat menyedihkan.

Tidak heran sebenarnya, itu ungkapan yang terucap dalam hatinya ketika selesai mendengar pembicaraan tadi. Ia kemudian melangkah keluar. Waktu istirahat yang ia habiskan hari ini di perpustakaan telah hampir berakhir.

Dan, ia harap hari ini tidak terlalu cepat untuk mendapatkan masalah.

***

Pembullyan, Ejekan, Makian, terasa sudah terlalu biasa untuk para penguasa lakukan dengan tawa tiap harinya. Tentu dengan tangis yang terpendam dalam perasaan yang tak mampu diungkapkan untuk tak terlihat lemah.

Suara tawa menggelegar di toilet tersebut. Gadis dengan rambut indahnya itu tersenyum lebar ke arah gadis dibawahnya. Senyuman maut.

Ia kembali menjambak rambutnya, memaksanya menatap kearah dirinya. Sedangkan sang korban hanya bisa terdiam dengan buliran bening yang mengalir menahan sakit.

Gisella Monasse. Ratu sang penguasa neraka tersebut.

"Kau benar-benar pencari masalah, bukan?" Giselle memaksa nya berdiri. Mencengkram dagunya untuk memaksa menatap ke arahnya.

"Eng-Enggak, M-maaf." Sudah entah permohonan keberapa kalinya hingga membuat ia tak mampu lagi berkata.

"Ck, rasanya aku belum puas untuk bermain denganmu." Ia menghempaskan tubuh yang langsung saja terkulai lemas. "Tapi melihatmu tak berdaya seperti ini, membuatku sangat tidak tega."

Tawanya mengiringi ia keluar dari toilet, meninggalkan sasaran yang mungkin hampir sekarat dibuatnya.

Sedang, sang Ratu hanya meninggalkan senyuman miring sebagai terakhirnya.

***

Bukan hanya lingkungan sekitar, pada dasarnya keluarga dapat menjadi luka terbesar bagi seorang anak. Menjadi trauma yang membuat ia tak merasakan lagi hangatnya rumah.

Xandra melangkah masuk setelah menutup pintu gerbang yang baru ia lewati. Menghela napas sejenak setelah hari yang ia rasa akhirnya boleh berdamai dengan dirinya.

Ia membuka pintu. Melangkah lebih dalam. Terlalu cepat menyimpulkan memang, karena pada akhirnya ia menangkap sosok yang yang ia benci. Sosok yang telah menoreh luka terbesar dan trauma berat padanya.

Sejak kapan ia pulang?

Botol miras di genggamannya. Penampilannya yang berantakan. Dengan posisi terbaring di atas sofa akibat mabuk yang melanda. Meracaukan hal-hal yang menurutnya tidak jelas.

Sejenak, ia merasakan tubuhnya gemetar. Kejadian flashback yang sangat ia ingat berputar kembali di dalam otaknya. Membuat ketakutan menggerogoti seluruh tubuh.

Ingin membantu, tapi ia terlalu takut.

Akhirnya, ia lebih memilih melanjutkan langkahnya. Wajahnya pucat pasi akibat ketakutan yang melanda. Ia menaiki tangga, berjalan dengan cepat menuju kamarnya.  Mungkin sebelum ia benar-benar terjatuh karena ketakutannya.

"Jika dikatakan seorang Ayah adalah cinta pertama dari anak perempuannya, maka kalimat bahwa 'Cinta adalah luka, berarti benar. Karena, pada dasarnya cinta pertamanya sendiri yang menorehkan luka yang begitu membekas. Trauma yang selalu ia ingat, Trauma berat yang tak pernah ia lupakan. Yang berasal, dari sang cinta pertama."

TBC
668 kata

Skandal Trauma Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang