Chapter : 007

12 5 13
                                    

Skandal Trauma : 007

Mereka bukan tak tau, tetapi mereka menutup mata dan mulut.

Koridor sekolah mendadak terdengar ricuh. Bahkan, beberapa siswa terlihat menyempatkan diri untuk melihat rusuhnya koridor di dekat ruangan kantor tersebut.

Beberapa orang tua / wali siswa terlihat disana. Seakan sudah direncanakan, seakan sudah diperbincangkan, mereka datang pada waktu yang bersamaan.

Menyebabkan penyatuan masalah antar mereka yang menuai setidaknya persatuan untuk menentang sesuatu?

Sudah beberapa waktu mereka disana, hingga pintu terbuka. Seakan kaum wartawan yang langsung menyerbu, tidak memberi kesempatan orang lain hanya untuk mengumpat sesuatu.

Beberapa guru bahkan terlihat menenangkan anggota orang tua tersebut. Menyebabkan mereka yang harusnya mengajar di hari ini menjadi tertunda. Dan, hari ini para siswa tersebut lebih menyempatkan untuk bersosialisasi sebentar membahas hal tersebut.

Wakil Kepala Sekolah, Henry Felix.

Ia kewalahan setelah dengan cepatnya diserbu oleh orang tua murid.

"Maaf, bapak ibu, kalian tidak bisa seenaknya membuat rusuh di sekolah ini!" Tegas Pak Henry. Walau sesuatu tersembunyi dibalik perasaan Wakil sekolah tersebut.

"Kami disini untuk tujuan yang sama! Mempertanyakan kemana para pihak sekolah untuk mencari anak-anak yang hilang!" Salah satu orang tua tersebut menjawab tegas. Mendapat sahutan dari orang tua lainnya yang membuat pihak sekolah kebingungan.

"Jika Kepala Sekolah disini adalah pejabat, bukankah seharusnya mereka sudah menemukan, kemana anak-anak tersebut menghilang?!"

"Jika sekolah ini merupakan sekolah yang tak bertanggung jawab, maka jangan salahkan orang tua jika mengusut masalah ini langsung pada pemerintah!"

"Maka, panggilkan Kepala Sekolah tersebut! Usut masalah ini secepatnya! Apa pihak sekolah sengaja menutup masalah ini?!"

Debatan demi debatan keluar dari satu-persatu mulut orang tua tersebut. Yang selalu saja dibantah dengan perkataan yang hanya kembali menarik emosi dari para orang tua murid.

Yang hanya kembali membuat mereka menyindir keras pihak sekolah.

"Kita disuruh untuk membicarakan permasalahan ini dengan orang tua di aula!" Seruan nyaring tersebut mengalihkan atensi dari kerumunan tersebut.

Guru itu dengan cepat mengintruksikan untuk mereka yang berada disana dengan segera pergi ke ruangan Aula sekolah.

"Kepala Sekolah akan membincangkan ini dengan kepala dingin." Ucapnya yang kemudian diikuti oleh kerumunan tersebut menuju ruangan.

Tanpa sadar, sedari tadi Xandra memperhatikan itu. Mengulum bibir dari yang tadinya begitu riang berubah menjadi tatapan yang benar-benar tidak mengenakkan.

Karena, ia yakin mereka tidak akan menang hanya dengan cara seperti itu.

Menyumpah serapah pemerintahan yang berlaku disini. Kepala sekolah? Pejabat? Dan, penyalahgunaan wewenang kekuasaan!

Pejabat daerah yang justru membuat sekolah ini sebagai neraka? Hanya mereka yang mengetahui hal tersebut. Karena, pada akhirnya, mereka dipaksa bungkam oleh kuasa tersebut.

Haha, mungkin satu daerah terpaksa bungkam juga karena hal itu. Lucunya, kuasa Tuhan berwarna Merah itu. Mengalahkan eksistensi dari Tuhan Yang Maha Esa tersebut.

Manusia, manusia, lucu sekali.

Xandra mengepalkan tangan. Menyalurkan emosi terpendam dengan dendam yang belum bisa ia balaskan. Atensi tertuju terus pada Keadilan yang tak kunjung datang.

Negeri ini, Negeri Indonesia yang justru berubah menjadi kacau-balau. Pemerintahan yang hanya manis dalam perkataan yang kembali berujung busuk diakhir, bukan?

Jika hal itu terjadi, mengapa masih dengan alibi bahwa negara ini adalah negara Republik yang bersatu?

Alibi bodoh yang hampir semua orang tau, Keadilan hanya untuk mereka yang berkuasa.

Apa daya rakyat dengan kasta yang rendah? Apa mereka sanggup menyuarakan keadilan mereka?

"Jika janji politik bisa ditepati seperti pajak, tentu saja kita hidup di utopia."

Malangnya, kita tidak tau seperti apa nasib itu akan terjadi.

Xandra berjalan gontai setelahnya. Kembali menuju kelas untuk duduk di tempat nya dan kembali terbalut dengan pikiran yang bergulat. Hidupnya tidak akan tenang sebelum ia dapat mengungkapkan semua hal-hal itu.

Setelah beberapa waktu, pandangannya tertuju pada keluarnya kerumunan yang tadi sempat membuat rusuh.

Raut wajah yang terlihat tak menyenangkan, lesu yang mendominan, dan mereka yang hanya bisa diam membisu.

Lagi-lagi, Tuhan berwarna Merah itu kembali menang.

Dan kini, Ratu Neraka itu masuk ke dalam kelas dengan senyuman merekah yang dapat membuat semua dikelas tersebut langsung bereaksi tak menyenangkan.

Karena, mereka dengan jelas tau, apa yang sudah terjadi. Kuasa kembali, Ketidakadilan lagi.

Melawan? Hak mereka dirampas untuk bersuara.

***

Jika, akhirnya tetap sama saja ...
Adakah keuntungan setelah kita bersuara?

Jangan kehilangan suara, karena hanya satu-satunya hal itu yang mereka punya!

Bisu sementara, dendam belum juga usai!

Mereka selalu mencari keberadaan lima sila, yang kini telah ditelan oleh pemerintah.

Tuhan berwarna Merah, begitu mereka menyebutnya.

Kejahatan terus dilakukan dengan cara yang berbeda. Namun, kembali menjatuhkan setiap individu manusia.

Ketidakadilan, ketidakjelasan, ketidakpastian menghantui pikiran manusia yang memohon.

Apa negeri Republik ini masih berlaku? Apa mereka benar-benar tidak penting untuk dilihat sebagai Manusia? Mereka bukan pion yang harus bergerak melindungi Raja yang tidak pernah untuk setidaknya melirik pada mereka! Hei, manusia, Sadarlah!

Itu yang coba mereka bicarakan. Yang coba mereka utarakan. Namun, mulut ini tidak dibiarkan bersuara untuk satu fakta.

Kepalsuan yang dibenarkan?

Kapan mereka benar-benar sadar akan satu perbuatan yang jelas adalah salah? Mereka merupakan penjajah masa kini yang melakukannya dengan cara berbeda.

Percaya pada satu kemungkinan bahwa Tuhan Yang Maha Esa akan membalasnya.

Jatuhkan mereka dengan cara paling sakit diakhir.

TBC
818 kata










Skandal Trauma Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang