Dua

36 8 2
                                    

Setiap orang memiliki ketakutannya sendiri. Takut kepada Tuhan, takut kehilangan, takut waktu berlalu, takut ditingalkan, takut dilupakan. Takut dianggap buruk oleh orang lain, takut pada kegelapan, takut terhadap suara petir, takut hantu, dan ketakutan-ketakutan lainnya yang sulit dijelaskan, karena takut ada di dalam diri setiap manusia.

Aku juga, aku juga termasuk manusia yang punya ketakutan besar di dalam diriku, yaitu, takut ditinggalkan. Takut dilupakan, takut dihapus, dan tidak dianggap lagi.

Aku dan Jimin sudah bersahabat sejak kecil. Kami melalui semuanya, susah, senang, sedih, bahagia, amarah, luka, dan hal yang paling berarti bagi kami melebihi waktu kebersamaan itu sendiri.

Dulu aku ingat sewaku kelas enam SD, kami pernah berjanji di bawah pohon plum dekat sungai di tempat tinggal kami dulu. Kami berjanji untuk tidak saling meninggalkan satu sama lain.

"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kita adalah sahabat paling hebat di dunia," katanya.

Namun, entah bagaimana cara kerja waktu yang membuatku perlahan kehilangan diri Jimin sejak dia memutuskan untuk memacari seorang gadis primadona sekolah semasa kami SMA dulu. Dia putri orang kaya—pejabat kota, seorang gadis manis, dengan paras menawan dan Jimin sangat menyukainya.

Sejak saat itu Jimin mulai berubah dan aku menjadi sering menangis, itu adalah hal yang sangat menakutkan.

Benar bahwa ketakutan adalah jalan menuju sisi gelap, karena aku membenci wanita itu lebih dari apapun, kendati Jimin sangat menyukainya. Aku marah namun aku tidak bisa membuat Jimin menjauh dariku, karena aku membutuhkannya. Aku tidak ingin Jimin meninggalkanku, maka bisakah aku menjadi sosok jahat untuk kali ini saja?

"Oke tapi...," Jimin mengerjap berulang kali, seraya menatapku serius dengan alisnya yang berkerut-kerut. "Jangan bercanda."

"Siapa bilang aku bercanda?" ucapku. Menahan malu, aku menelan ludah yang kian pahit dirasa. "Aku tidak bercanda Jimin."

"Beri aku permintaan lain. jangan bercanda. Masa aku harus putus dengan Haejin, nanti jika dia dengar ini dia pasti akan menjambak rambutmu."

Boleh tidak sih aku menganggap dia idiot?

"Aku tidak bercanda. Jika aku berhasil membuat traumanya sembuh, maka kau harus berkencan denganku."

"Tidak, itu konyol!"

"Oke, aku menolak tawaran sekarang pergi dan jangan datang lagi kemari." Aku berdiri dan menariknya untuk berdiri, dengan wajah memerah luar biasa.

"Sebentar karena," katanya namun karena rasa malu yang sudah mengakar di uratku. Aku tetap mendorongnya walau dia bersikukuh. "Sebentar, Naya, biarkan aku berpikir dulu. Kenapa kau mengajukan hal seperti ini? Kukira aku tidak masuk kriteriamu."

"Lupakan." Aku tetap mendorongnya.

"Oke baiklah... baiklah...." Dia mengangkat kedua tangannya untuk menyuruhku berhenti mendorong tubuhnya hingga hampir mencapai pintu. Dia mengambil napas panjang dan seperti akan berucap sesuatu. Aku menunggunya sambil melipat tangan di dada.

Tatapan kami yang bertemu, lalu dia menggigit bibirnya sendiri. "Oke. Aku akan berkencan denganmu, tapi...," Dia menggaruk kepalanya. "aku tidak akan putuskan Haejin."

Aku merengut. Sementara Jimin berdecak.

"Please, Naya, jangan buat aku jadi pria kejam. Dia juga wanita, bagaimana bisa kau bersikap seperti kau tidak mengerti perasaan sesama wanita? Aku tidak bisa membuat Haejin menangis."

"Bisa tidak kau menjadi pria jahat sesekali? Tidak bisa ya? Oh, iya, sih, kau itu pria idaman, kan? Para wanita itu pasti bahagia sekali sudah dapat perhatianmu."

LOVE SCENARIO [lengkap] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang