dua puluh satu

22 5 1
                                    


Aku bangun lebih pagi dan berniat membereskan rumah yang sedikit berantakan. Karena pergi begitu tiba-tiba, maka dari itu aku belum sempat merapikan apartemen sederhanaku.

Sambil mengikat rambut, aku keluar dari kamar dan meninggalkan Jimin dan langsung teringat pada ponselku yang kuletakkan di meja depan televisi. Aku mengambil benda itu dan memeriksa beberapa pesan masuk, terutama pada sebuah nama yang membuat jantungku mendadak berdebar kencang. Kantuk yang tadi masih tertinggal, kini pun hilang begitu saja saat aku membuka pesan yang berupa foto-foto diriku yang entah kapan diambil oleh Taekim.

Dia memotret diriku yang sedang berjalan sendirian di pinggir Sungai Seine, juga saat kami berada di menara senja hari itu. Hingga satu foto terakhir yang sempat diambil oleh Taekim tiba-tiba ketika aku tak siap.

Sebuah foto dengan wajahku yang kupikir terlihat aneh, namun Taekim menuliskan pesan yang membuat hatiku berdesir hebat,

Taekim

"Kau sangat cantik. Jika aku diberikan beberapa karya seni dari maestro ternama, aku akan tetap memujimu karena kau tampak alami dan indah melebihi apapun. My Baby Bear."

Aku meletakkan ponselku kembali seraya mencoba meredakan degub jantung yang tidak terkendali. Saat itu kudengar suara langkah kaki Jimin keluar dari kamar. Maka aku lekas menuju dapur sebelum Jimin melihatku yang akan menangis.

Kudengar Jimin mendekat padaku yang membuka kulkas untuk mengeluarkan bahan-bahan masakan. Dia menyapa dengan suara khas bangun tidur.

"Pagi."

Aku menutup pintu kulkas dan membalas senyumnya, kemudian meletakkan daun bawang dan telur ketika kurasakan sebuah kecupan mendarat di pipiku.

"Hari ini ada janji dengan klien," beritahunya sambil bersedekap menyandarkan pinggangnya ke pinggiran pantri. Aku menaikkan alis sambil mulai memotong daun bawang.

"Oh, kalau begitu kita sarapan dulu supaya kau tidak sakit perut."

Jimin tersenyum. Ada jeda beberapa saat selagi dia memperhatikanku. Dan dia kemudian bertanya ketika kulihat dia melirik cincinku sekilas. Hal itu membuatku panik karena lupa melepaskan benda pemberian Taekim tersebut.

"Cincinmu cantik, aku baru melihatnya," pujinya.

Seketika itu juga aku memegang jemariku, mendekapnya dan mendadak gugup.

"Te-terima kasih. Aku membelinya di Paris karena terlihat cantik."

"Eum, itu cantik." Pujinya lagi. ia meraih tanganku dan meelihat cincin tersebut. Hal itu membuatku semakin berdebar.

Aku baru bisa bernapas lega ketika Jimin melepaskan tanganku.

"Sudah menguhubungi ibumu?" tanyanya.

Aku mengangguk dan kembali memotong bawang. "Sudah pagi tadi. Dia cemas dan ingin mengunjungiku, jadi aku pikir mungkin aku tidak perlu ke Busan untuk menemui mereka."

"Mungkin kalau ibumu ingin, kita bisa datang mengunjunginya sekalian."

"Dia bilang itu tidak perlu. Jadi aku tidak bisa memaksanya."

Jimin mengangguk. Dia mengelus kepalaku. "Baiklah. Kalau begitu aku siap-siap dulu."

Maka dia meninggalkanku yang segera itu mengatur napas guna meredakan kegelisahanku sesaat yang lalu. Namun aku masih belum benar-benar aman ketika aku kemudian berbalik dan melihat Jimin berhenti di depan televisi sambil memunggungiku. Sampai dia kemudian perlahan berbalik. Saat itu kulihat ponselku berada dalam genggamannya.

LOVE SCENARIO [lengkap] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang