dua puluh dua

17 4 1
                                    

Taekim membaringkan tubuhku di ranjang. Dia tampak cemas meriksa suhu tubuhku, memegang pergelangan tanganku, dan memeriksanya. Taekim terlihat begitu panik saat ini.

"Naya." Dia mendudukkan diri di sisi ranjang, sementara aku meringkuk dan berusaha memejam mata. "Naya, apa kau baik-baik saja?"

"Kau tidak boleh di sini," ucapku lagi. "Aku tidak ingin melihatmu."

"Jangan suruh aku pergi, aku tidak akan melakukannya. Aku mencemaskanmu."

Tangannya terulur untuk menggenggam tanganku, tetapi aku menolak membuat Taekim terdiam.

"Kenapa kau berubah sekali sejak pulang dari Paris? Apa aku tidak memperlakukanmu dengan baik? Kalau aku salah, aku minta maaf. Aku mohon maafkan aku."

Aku menahan diri untuk membalas ucapannya.

"Nona Shin," panggilnya dengan suara yang dalam. "Sekarang lihat aku. Aku ingin bicara dengan melihat matamu."

Aku tak tahan lagi meski berusaha untuk tak membuka mata agar Taekim lekas pergi. Jimin bilang, aku harus bersikap tegas agar Taekim benar-benar menjauh karena dengan cara inilah aku dapat membuat semuanya kembali seperti semula, membuat Taekim pergi agar tidak ada lagi permasalahan apapun.

Namun, sekarang aku masih mendengarkan Taekim berbicara di sisiku dan aku pun mendengarkan segala ucapannya yang membuat hatiku teriris.

"Apa kisahku tentang pengalaman pahit tidak menyentuh hatimu?" tanyanya.

"Apa itu tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan bahwa kau bertanggung jawab atasku sampai akhir? Apapun yang kau katakan, apapun yang kau coba lakukan untuk menghindar dari semua ini, kesalahan selalu kembali kepada kita berdua. Ketika kau dengan sengaja masuk ke dalam hidupku, kau tidak bisa begitu saja pergi kecuali kau sengaja ingin menghancurkan hidupku sekali lagi," ungkapnya.

Aku perlahan membuka mata dan menyaksikan raut Taekim yang tampak sedih.

"Aku tidak pernah menceritakan segalanya seperti aku mengatakan semuanya padamu, Naya. Tidak bisakah kau menghargainya? Kenapa kalian sangat egois?"

"Aku...." Aku mencoba untuk duduk, sembari membenahi rambut sebelum menatapnya meski tak tahu harus mengatakan apa. Percuma saja mengusirnya, dia tidak akan semudah itu menurutiku.

Taekim memegang tanganku. "Jawab aku."

"Aku merasa tertekan," jawabku seraya menghapus setetes air mata yang jatuh seraya menggigit bibir dan membiarkan beberapa saat hening untuk berpikir. "Aku juga takut."

"Apa yang kau takutkan?"

"Itu...."

Haruskah aku mengatakan ketakutanku akan Jimin yang akan meninggalkanku?

"Sejak dulu, yang kutahu adalah bagaimana caranya agar aku mendapatkan semuanya yang kumau." Aku memeluk lututku saat kembali mulai bercerita. Taekim semakin serius mendengarkan.

"Ya, semua orang pasti memiliki keinginan dalam hidupnya," balas Taekim.

"Entahlah, Ini semua menyangkut Jimin dan janjiku pada diriku sendiri. Sejak kecil, Jimin selalu menemaniku melalui segala hal, begitu pun sebaliknya. Kami tumbuh bersama seperti dua sisi mata uang yang berbeda. Aku untuknya, dan dia untukku. Aku sangat menyayanginya seperti dia adalah sosok penjaga yang ada di saat aku butuh untuk dilindungi. Dia sangat berharga bagiku, Taekim. Seseorang yang berada di tempat spesial di hatiku, melekat di pikiranku, berada jauh di dalam diriku..."

"Ketika dia memutuskan untuk bersama Haejin, aku pikir baiklah asalkan dia bahagia. Meskipun dari dalam hatiku, aku merasa sangat terluka dan hancur dan membuatku melampiaskannya pada apa pun. Aku memacari banyak pria dan membuat mereka marah..."

LOVE SCENARIO [lengkap] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang