"Aku putus dengan Haejin, ayo hibur aku Naya, aku butuh dirimu."
Seketika angin dingin berhembus semilir di sekitarku. Berulang kali aku memikirkan apakah isi pesan ini benar-benar ditulis Jimin secara sadar? Ataukah dia sedang bercanda denganku? Jika demikian, aku tidak akan menggubrisnya.
Kusimpan ponselku dan memilih menunggu bus yang akan segera datang. Tanganku semakin dingin seolah mengikuti suhu di sekitarku yang juga semakin dingin. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan, langit sudah mendung, dan angin mulai bertiup seenaknya mengembuskan helaian rambutku dan ujung rokku. Sialnya, aku tidak membawa payung.
Aku semakin tak tenang, seolah ada yang mengganjal di hatiku, atau seperti ada percikan api di hati yang perlahan membara. Aku tidak tahan untuk kembali mengambil ponsel dan melihat ternyata ada lagi satu notifikasi Jimin di sana.
Rasanya jantungku seperti akan berlari. Aku tidak tahu mengapa bisa berlebihan begini, aku tidak bisa menahan reaksiku atas apa yang dikatakan Jimin, meski kemungkinan besar itu adalah sebuah kebohongan semata.
Jimin
Aku merindukanmu
Sekarang ada di mana?
Aku menekan nomer itu dan memutuskan untuk menghubunginya. Tak lama suara gemerisik pun terdengar, disusul suara Jimin.
"Ada apa denganmu?" tanyaku.
Helaan Jimin yang terdengar berat menyambutku sebelum dia bersuara.
"Aku merindukanmu." Suara Jimin terdengar serak, seperti orang mabuk.
"Berhentilah Dokter Park, ada apa denganmu? Sekarang kau di mana?"
Dia tidak menjawab.
"Jimin?"
Tidak ada jawaban.
"Ji—"
"Di rumah," pungkasnya.
"Kau libur?" Aku meilihat jam di layar ponsel, sudah pukul setengah dua belas siang.
"Hu-um, kepalaku pusing." Ia mendengkus.
"Tunggu, apa kau mabuk?"
"Ya. aku minum alkohol dan sekarang kepalaku pusing sekali. Aku butuh Naya. Di mana bunga liliku?"
Sudah lama sekali, dia tidak memanggilku demikian. Kalau kalian ingat, aku pernah mengatakan bahwa sewaktu kami kecil, Jimin pernah membuat perumpamaan bahwa diriku adalah bunga lili, dan sesekali, jika aku sedang menangis, dia menyebutku sebagai bunga lilinya. Namun, dia tidak pernah lagi mengatakan hal itu seiring berjalannya waktu.
Sekarang dadaku berbunga, seperti ada yang mencubit perutku.
"Hey, Park Jimin! Kau sudah gila?!" Hatiku makin tak menentu. "Baiklah, aku akan ke rumahmu sekarang."
"Jinjja?" Kudengar dia tertawa pelan, nadanya begitu senang. "Eum, datanglah, segera, hm? Aku akan menunggumu."
Sebagai jawaban aku menggumam. Kemudian mengakhiri panggilan itu. Sekarang aku terlihat seperti orang yang panik dan mendadak idiot, aku tak lagi menunggu bus yang sebenarnya sudah akan tiba sekitar dua menit lagi, dan memilih menyetop taksi, menyuruh pak sopir agar lekas menuju alamat rumah Jimin yang kuberitahu.
Di tengah perjalanan, sebuah pesan kembali masuk ke ponselku. Aku segera membukanya dengan tergesa, karena aku mengira pesan itu dari Jimin, namun kali ini aku salah. Sebuah balasan dari Taekim.
Taekim
Akhir pekan ini , aku akan menemuimu
Aku tidak membalasnya dan menganggap urusan Jimin lebih penting daripada Taekim. Ini menyangkut perasaanku, karena aku tidak berhenti berdebar, begitu penuh dengan Jimin, Jimin, dan Jimin. Senyumku terkembang begitu saja, sampai pak sopir melirikku dari kaca spion, menganggapku aneh. Tidak tahukah dia wanita cantik ini sedang jatuh cinta?
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE SCENARIO [lengkap]
FanfictionJudul sebelumnya: Filter Shin Naya ditantang Jimin untuk membuat si billioner Taekim sembuh dari trauma. Sebagai imbalan Jimin harus putuskan pacarnya. Namun skenario mereka berantakan ketika Taekim benar-benar jatuh cinta dan dia menuntut Naya atas...