"Trauma itu menghantuiku hingga detik ini." Kalimat terakhir yang dilontarkan pria blasteran Korea-Amerika itu terngiang di kepala Jimin sejak dua menit lalu.
Jimin mengangguk seraya sedikit senyum dan menepuk pundaknya. Pria itu datang ke rumah Jimin pukul sepuluh malam dan meminta bir sebagai pengantar pembicaraan itu. Jimin mendengar segalanya dan mencoba memahami setiap ucapannya.
Hingga dari balik kacamata shading hitam membingkai di wajah malaikat Jimin, ia melihat pria itu dari sisi yang malang.
"Memang seharusnya kau meluapkan semuanya. Terima kasih sudah menceritakan bagian paling buruk di hidupmu, Taekim. Kau sangat berani," balas Jimin.
Sofa yang mereka duduki sudah panas saat ini. Jam menunjukkan pukul dua belas lewat dua puluh tujuh menit. Taekim menenggak setengah gelas bir lagi hingga ia merosot di sofa. Ia melihat langit-langit ruang tengah Jimin, lalu memejamkan mata mencoba melupakan bayang-bayang mengerikan.
"Apakah aku bisa meminta bantuanmu sebagai seorang teman?" Pria itu melirik sembari menegakkan tubuh, menghadap Jimin. "Aku tidak ingin terjebak dalam dunia gelap seperti ini terus menerus. Begitu sulit bagi keluargaku dan aku tidak bisa membiarkan isu tentangku yang seorang gay merebak luas sampai mempermalukan identitas perusahaan. Aku takut membuat lebih banyak lagi masalah. Karena semakin hari, aku merasa keadaannya semakin kacau dan ini sudah tidak bisa dibiarkan." Taekim mulai berbicara penuh emosi lagi seperti ketika ia menceritakan tentang trauma masa kecilnya.
"Karena kau punya keinginan yang sangat kuat, aku pikir ini akan mudah bagimu untuk sembuh Taekim," jelas Jimin.
Jimin menghela napas dan melanjutkan, "Keinginan tersebut membuatmu punya peluang sangat besar untuk menjadi normal kembali."
Jimin meraih ponselnya yang ada di nakas, lalu ia menunjukkan pada Taekim layar ponselnya yang menampilkan foto seorang wanita cantik bermata indah. "Namanya Shin Naya dua puluh enam tahun, dan dia sahabatku." Jimin membiarkan Taekim mengambil ponselnya dan melihat foto Naya yang dia ceritakan. "Kami sudah bersama sejak kecil. Dia wanita yang unik, kau pasti tertarik padanya."
"Bagaimana kau bisa yakin?" tanya Taekim mengembalikan ponsel Jimin.
"Dia pasti bisa membantumu," ujar Jimin. "Aku akan berbicara padanya untuk mengatur pertemuan kalian."
***
Hari Minggu ketika Jimin menghubungiku. Dia bilang dia akan datang karena ingin membicarakan sesuatu. Jadi, aku menerimanya saja. Sore itu, Jimin sampai di depan apartemen dengan senyum lebar. Tak lupa, seikat bunga yang dia bawa ketika kerap kali datang mengunjungiku.
"Hai," sapanya.
Aku menyambut pelukannya dan mengajaknya untuk masuk. Sedangkan dia meneliti kondisi tempat tinggalku lebih dulu.
"Apa?" tanyaku sambil meletakkan bunga ke dalam satu tempat khusus. Dan melihatnya melangkah satu-satu sambil memperhatikan rumahku.
"Tumben rapi. Kau habis bersih-bersih?" tanyanya.
Aku mendecih. "Harinya sedang bagus," jawabku.
"Oh apa karena aku datang?"
"Tidak. Maaf, ya. Aku sedang menunggu pacarku. Dan kau mengganggu suasananya."
Jimin tertawa. Dia berakhir menjatuhkan bokongnya di sofa seraya menyilangkan kaki.
"Bagaimana dengan yang ini? Pria seperti apa lagi? Banyak duitnya tidak?"
"Tentu. Jimin. Aku tidak akan mau mengencani pria miskin. Makanya kau tidak masuk ke dalam kriteriaku."
Jimin mendesis sambil tersenyum mendengar candaanku. Aku membawakannya teh beraroma chamomile dan duduk di sebelahnya untuk memulai obrolan. Seperti biasa kami selalu seperti ini, walau akhir-akhir ini kami jarang berkomunikasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE SCENARIO [lengkap]
Fiksi PenggemarJudul sebelumnya: Filter Shin Naya ditantang Jimin untuk membuat si billioner Taekim sembuh dari trauma. Sebagai imbalan Jimin harus putuskan pacarnya. Namun skenario mereka berantakan ketika Taekim benar-benar jatuh cinta dan dia menuntut Naya atas...