Pasca operasi, hari yang aku lalui pun adalah untuk memulihkan diri. Istirahat secukupnya dan tidak diperbolehkan untuk banyak bergerak. Jimin selalu menanyai keadaanku. Dia selalu membawakan makanan-makanan bervitamin dan penuh gizi. Dia juga mengingatkan ibuku agar aku selalu minum obat tepat waktu, karena Jimin tidak bisa sering-sering datang ke Busan untuk menjengukku. Jimin hanya bisa melihatku di akhir pekan saja dan jika dia tak dapat datang, dia akan menghubungiku saat senggang, lalu kami akan mengobrol seperti biasanya. Jimin selalu memantauku selama dalam masa pemulihan diri dan membantu menenangkan pemikiran-pemikiran buruk yang datang sesekali.
Setiap pagi aku selalu berdiam di pinggir ranjang kamar tidurku, sambil melihat ke ventilasi di mana cahaya matahari masuk menerobos dan tepat mengenai wajahku. Aku dapat menyaksikan partikel debu yang berterbangan dari sorotnya, dan aku berdoa pada Tuhan bahwa aku mampu melalui ini semua dengan mudah. Tuhan memiliki rencananya lebih baik untukku kendati aku tak akan dapat lagi memiliki anak. Aku bisa menjalani ini semua, dan ini bukanlah akhir dari perjalanan hidupku.
Hingga tak terasa sudah sebulan lebih ketika aku mengecek kalender pagi ini. Besok hampir menginjak bulan kedua dan aku sudah berangsur membaik. Aku sudah bisa melakukan olah raga ringan seperti jalan-jalan di sekitar komplek rumah tiap pagi, seperti yang aku lakukan hari ini. Setelahnya, aku pun berusaha menyibukkan diri dengan mengobrol lebih banyak dengan ibuku, atau menyapa tetangga yang sesekali menjengukku selama sakit. Kegiatan itu terjadi secara berulang, sebagai upayaku untuk tak terlalu memikirkannya di sana yang entah apa kabarnya.
Malam ini sebelum tidur aku menghubungi Jimin dan menyampaikan kegelisahanku. Kami berbicara setelah seharian dia tidak dapat dihubungi.
"Banyak sekali yang kupikirkan akhir-akhir ini, Nay," katanya.
Aku berguling ke sisi kanan tempat tidurku sambil memandang sudut kamar, dengan ponsel menempel di telinga. "Kenapa?" tanyaku.
"Aku menolak untuk kembali bersama Haejin," katanya.
Aku mengerutkan dahi. "Jadi ini keputusanmu? Bagaimana dengan Bibi dan keluarga Haejin?"
Dia hanya berdecak, lalu suara helaan napas beratnya terdengar. "Ya. Aku sudah memantapkan keputusanku. Sungguh, aku tidak ingin memaksakan diriku jika memang aku sudah tidak lagi menginginkan hubungan ini, benar, kan? Seharusnya sejak awal Haejin bisa menjaga komitmen sebagaimana aku berupaya menjaganya. Namun, dia menyiakannya dengan selalu saja merendahkan aku."
"Apa kau sungguh sudah memikirkan ini?"
"Ya," jawabnya lagi. "Aku tidak pernah seyakin ini."
"Lalu apa rencanamu?" tanyaku. Namun dia hanya tertawa pelan.
"Entahlah, aku tidak tahu. Namun aku hanya harus terus hidup dan fokus dengan pekerjaanku saja."Aku menggumam. Ada jeda sejenak sebelum dia kembali bertanya, "Apa sekarang tubuhmu terasa lebih baik? Apa sudah tidak sakit lagi?"
"Tidak. Aku rasa aku sudah pulih seutuhnya."
"Kalau begitu aku datang akhir pekan ini untuk memastikan keadaanmu."
Aku mendecih saat mendengarnya, dan sambil membayangkan bagaimana Jimin saat ini. Dia pasti duduk di sofa sambil membiarkan layar televisinya menyala, karena aku mendengar suara acara komedi samar-samar dengan sekaleng soda yang menemaninya, karena aku sudah melarangnya meminum alkohol.
"Jimin."
"Hm, kenapa?"
"Terima kasih."
"Untuk apa?"
"Menemaniku tumbuh dewasa. Kau benar bahwa hubungan kita lebih dari apa yang kita ketahui. Maksudku, ketika aku memikirkanmu, yang kuingat adalah masa-masa ketika kita melalui segalanya bersama. Walau pun kau tak selalu menjadi Jimin yang baik untukku, karena kadangkala kau berengsek." Jimin terdengar mendengkus. "Tapi kau adalah sahabat paling sempurna yang aku miliki di dunia ini. Aku sangat menyayangimu."
Lima detik setelah ucapan itu. Jimin tak mengatakan apa-apa. "Jimin?"
"Hm?" Dia menggumam.
"Apa kau mengantuk?"
"Tidak."
"Kenapa diam saja?"
"Aku sudah mengatakannya kemarin. Kau adalah hal yang sangat berharga yang kumiliki di hidupku. Walau pun aku merasa aku tak pernah melakukan hal baik padamu, Naya, aku lebih sering berbohong dengan diriku sendiri jika bersamamu."
"Bagiku kau tetaplah Jimin yang terbaik."
Dia tertawa pelan. "Tidak juga. Sebenarnya aku ingin jujur, tapi aku takut kau marah dan melemparku jika bertemu."
"Apa?! apa kau melakukan hal yang menjijikkan dan aku tidak tahu?!" tanyaku sedikit panik yang dibuat-buat.
"Kau pernah lupa menutup jendelamu ketika pakai baju."
Aku mengernyitkan dahi. "Apa... yang kau bicarakan?" Meski sebenarnya, aku tahu apa yang dia maksud.
"Suatu hari sewaktu aku menjemputmu untuk berangkat sekolah bersama, aku iseng pergi ke bawah jendelamu dan tak sengaja melihatmu sedang pakai baju."
Aku diam mencerna betapa gilanya kalimat itu barusan. Perlahan demi perlahan, kesadaranku terkumpul. "Kau pasti berbohong."
"Aku tidak lupa warnanya, kok."
"Jimin...."
"Kenapa?" Dia terdengar seperti sedang menahan tawa, sementara aku sudah mati kesal. "Kita sering mandi bersama waktu kecil. Tapi aku terkejut. Tidak kusangka sampai SMA pun kau masih memakai motif seperti itu. Apakah sekarang seleramu masih sama?"
Ini sama sekali tak lucu.
"Jimin aku akan menghajarmu saat kita bertemu, awas saja! Kau tidak akan bisa lolos Jimin."
Dia tertawa lagi. "Selamat malam Lilli. Aku sangat menyayangimu."
"Jimin—"
Sambungan berakhir dan aku hanya menatap layar ponsel dengan perasaan kesal bercampur lucu. Tak marah sepenuhnya, hanya sebatas sebal dan perasaan ingin menarik-narik rambut Jimin.
Hingga beberapa saat aku termenung melihat ponselku sendiri yang menampilkan foto seseorang di dalamnya, dengan latar belakang pemandangan Sungai Seine. Pria tampan itu membawa kamera untuk memotret gedung-gedung dan apa saja yang dianggapnya menarik. Aku teringat beberapa perdebatan kecil dengannya saat itu, dan hal-hal apa yang sudah dia tunjukkan padaku sejauh ini. Tawanya ketika kuberitahu lelucon soal kebingunganku akan alis Mona Lisa, pertunjukan cahaya dari beranda hotel Pullman Paris, dan... cincin.
Aku memegang cincin di tanganku. Mengingat kenangannya membuatku menangis. Apa yang dilakukannya saat ini? Apakah dia juga merindukanku sebanyak aku merindukannya? Atau apakah dia sudah memutuskan untuk benar-benar melupakanku setelah semua ini? Begitu seringnya aku berharap dia mengirimiku pesan, tapi aku ingat pembicaraan menyakitkan kami terakhir kali.
"Aku akan pergi dari hidupmu dan tidak akan pernah muncul lagi."
Dia adalah tipe pria yang berpegang teguh pada ucapannya, maka tentu dia akan melakukannya. Dia akan melupakanku dan meninggalkan segala hal tentang kami. Kenyataan itu membuatku menangis hebat dan aku tertidur dengan bantal yang basah karena air mata.
![](https://img.wattpad.com/cover/377018810-288-k795559.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE SCENARIO [lengkap]
FanfictionJudul sebelumnya: Filter Shin Naya ditantang Jimin untuk membuat si billioner Taekim sembuh dari trauma. Sebagai imbalan Jimin harus putuskan pacarnya. Namun skenario mereka berantakan ketika Taekim benar-benar jatuh cinta dan dia menuntut Naya atas...