Empat belas

37 7 1
                                    


"Kau tidak benar-benar akan membawaku ke Paris, kan? Haha itu tidak lucu."

"Apa aku terlihat bercanda saat membawamu ke Jeju?"

Aku terdiam begitu saja. Mengerucutkan bibir dengan sebal pada pria yang memang sangat ahli membuat akalku jungkir balik. Bukannya aku tidak senang diajak bepergian, aku pun tidak mau munafik bahwa aku juga ingin berplesir ke tempat yang jauh dari sini. Itu adalah satu dari sekian hal yang ingin aku rasakan seumur hidupku—melarikan diri lebih tepatnya. Dulu, aku ingin melarikan diri sejauh mungkin dari sini dengan berbagai alasan.

Maka, sekali lagi, Taekim berhasil mengabulkan tanpa dia sadari. Daebak! Apakah dia sungguhan Aladin? Gaun indah, mobil mewah, sepatu cantik, pesta dansa, dan Paris?

Meskipun sebenarnya ini bukan perjalanan pertamaku ke luar negeri, sebab beberapa bulan lalu aku dan teman kerjaku, Naomi. Pernah mengunjungi kampung halamannya di Hokkaido untuk menghadiri acara pernikahan kakaknya. Jadi, aku tentu saja memiliki paspor sendiri walau benda itu sekarang ada pada Naomi karena sempat tertinggal padanya dan aku lupa mengambilnya.

Oleh karenanya, tadi selagi melanjutkan perjalanan menuju bandara, aku meminta Naomi untuk menyiapkan pasporku tersebut. Kami menyempatkan untuk singgah di rumahnya yang tidak terlalu jauh dari daerah Hongdae dengan paspor di tangannya.

Naomi jelas bingung dan bertanya ada apa denganku, kenapa mendadak pergi begitu saja seperti ini. Aku tak sempat menjawab, hanya memberikannya pelukan dan meminta sebuah doa,

"Doakan aku supaya pulang dengan selamat." Sebelum berlari ke mobil Taekim yang menungguku.

Maka kini aku melirik pria itu sambil mobil ini terus melaju. Membayangkan Paris, astaga aku seperti sedang bermimpi. Aku mencubit lenganku tak peduli sopir di depan melihat dari spion, tapi aku memang tidak sedang berkhayal. Adakah sebutan lain dari mimpi indah juga mimpi buruk yang berlangsung secara bersamaan?

Aku melirik Taekim dan memikirkan Jimin yang menjadi awal mula pertemuanku dengan pria ini. Meski sekarang keadaan berbalik sehingga aku kebingungan menghadapi dan mengendalikan fakta yang ada.

"Aku bahkan tidak membawa apapun!" Aku menggumam kesal, namun cukup memberitahunya bahwa aku tidak siap untuk bepergian. Aku melirik cek yang menyembul dari tasku dan diam-diam memasukkannya lagi.

Sialan, bagaimana pun aku berupaya tidak tergoda, namun uang tetap seperti cobaan terberat untuk diriku.

"Aku akan mengurusnya nanti," jawabnya sembari melirikku sebelum kembali memosisikan dirinya agar lurus ke jalanan. Dia kembali berucap pelan. "Diam saja jangan cerewet."

Beberapa menit kemudian dia kembali berujar, "Aku dengar kau suka mengencani pria-pria kaya dan menguras uang mereka. Oke, untuk gadis seukuran dirimu, aku salut kau bisa mematahkan hati banyak pria. Apakah caramu merayu mereka, sama seperti kau membuat mereka percaya padamu lantas kau buang? Seriously? Did you use your mouth to seduce all those man?"

Aku membeliak dengan perasaan campur aduk. Tak terasa kami sudah akan sampai di kawasan Bandara Incheon.

"Kau pandai, tapi kau tidak cukup pandai. You must really love money, right? So don't act like you don't like it. Aku sudah mencari tahu segala hal tentangmu. Itu semudah menjentikkan jari," katanya lagi dengan angkuh. "Dan sangat bahagia ternyata sahabatmu Jimin juga menyukaimu. Wow, Naya. Kau benar-benar wanita yang sangat beruntung."

Mendengar itu, rasanya hatiku kembali terbakar. Aku hanya bisa melampiaskan emosiku dengan menggigit bibir bagian dalam sebagai pelampiasan. Walau setelahnya aku tetap membalas perkataan tajam nan kejamnya.

LOVE SCENARIO [lengkap] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang