Tiga

41 8 0
                                    

Jimin selalu tidak suka aku mengenakan pakaian seksi. Aku teringat pada acara prom night beberapa tahun lalu. Dia mengomentari cutout floral dress dengan sobekan di bagian pinggang yang kukenakan. Dia pun berkata di depan pintu kamarku sedangkan aku menatapnya dari cermin rias.

"Aku akan merobeknya lebih lebar lagi jika kau belum menggantinya. Kau tidak cocok mengenakannya," kata Jimin waktu itu.

Aku pun menurut dan menggantinya dengan gaun lain yang lebih sesuai seleranya.

Jimin banyak mengomentari soal warna lipstik yang aku kenakan, jenis parfum yang aku pakai, sepatu yang tidak boleh terlalu mencolok. Dia juga akan menarikku ke perpustakaan untuk mencari buku-buku, lalu memaksaku membacanya jika ada ujian yang akan diselenggarakan dua minggu lagi. Jimin akan mengadu pada ibuku jika aku tidak menuruti titahnya.

Itu sebab mengapa ibu sangat menyukai Jimin dan menyerahkan hidupku padanya. Walaupun aku rela menyerahkan hidupku padanya tanpa diminta sekali pun.

Bukan Haejin, cinta pertamanya.

Aku tahu dia melakukannya dengan alasan bahwa dia hanya ingin yang terbaik untuk sahabatnya sendiri. Aku tidak bisa menolaknya, aku hanya akan menurut padanya dan semua itu terjadi hingga saat dia memintaku meluluhkan hati seorang pria gay yang sangat tampan.

Taekim.

Dia luar biasa tampan, asal kau tahu. Caranya berpakaian tentunya mendefinisikan bahwa dia pria yang sangat berkelas. Segala gestur yang dia berikan. Cara bicaranya, caranya berdeham, caranya bernapas, caranya memberikan tatapan padaku yang tidak bisa mengalihkan diri dari apa yang dia miliki.

Seberapa mahal parfum yang dia pakai sampai harumnya masuk ke kepalaku dan menciptakan imajinasi yang melalang buana. Walaupun aku selalu menyukai harum Jimin sampai kapan pun.

Sehingga kalimat yang baru saja terlontar membuat sentakan kecil hingga aku tak sengaja menelan ludah sendiri.

How about sex, he ask?

Yang kulakukan hanya melongo beberapa detik, sampai dia memasang wajah gusar terhadapku.

"Bagaimana, Nona Shin? Aku sudah bertanya dua kali," protesnya.

"Oke baiklah. Ayo kita lakukan. Itu bukanlah hal yang sulit bagiku," kataku dengan nada yang begitu yakin. Aku harap aku seyakin itu.

"Oke!"

Dia pun beranjak sedangkan asisten pribadinya mengekor di belakang. Mereka sedang berusaha menyingkirkan orang-orang yang menghalau jalan Taekim, hingga dia dengan mudah berjalan menuju pintu keluar.

Hingga akhirnya aku sampai di depan lobi, saat itu sebuah mobil limosin tiba di depan. Sang asisten pribadi langsung sigap membukakan pintu mobil itu, dan mempersilakannya selayaknya pangeran.

Pria itu menoleh padaku sambil menunjukkan seringai—sebagai isyarat bahwa aku harussegera menyusulnya. Maka aku pun berjalan mendekati mobil mewah yang selama ini kuimpikan.

Sepanjang perjalanan dia hanya diam dengan ekspresi datar dan mengabaikan kecanggunganku. Aku mencoba menurunkan gaun yang kukenakan agar menutupi daerah paha yang tereskpos. Hal itu mengingatkan aku pada nasehat Jimin supaya aku tidak mengenakan pakaian seksi.

Aku melirik pria di sebelahku dan dia tampak tidak terusik.

Kemudian kami memasuki sebuah kawasan mewah, dan tiba di rumah besar dengan pagar yang tinggi.

Sang asisten membukakan pintu untuk Taekim, dan aku memilih membukanya sendiri untuk kemudian mendekat padanya yang berjalan lebih dulu.

Kini aku kembali berada di belakangnya, mengikutinya seperti orang idiot.

LOVE SCENARIO [lengkap] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang