Empat

36 8 1
                                    

Malam itu, aku melarikan diri dari rumah Taekim setelah mendapatinya pingsan begitu saja. Sejak malam itu pula aku menolak panggilan dari Jimin, mengunci diri di kamar dan menolak bertemu dengannya jika dia datang.

Namun hari ini aku memberanikan diri menemui Jimin di kantornya karena aku merindukannya. Meski aku tahu apa yang akan dia katakan padaku. Taekim pasti mengadu padanya tentang apa yang terjadi. Itu jelas sekali.

Pukul sepuluh pagi aku datang ke ruangan kerjanya. Dia terlihat sibuk dengan buku di tangannya saat melihatku masuk. "Hai, Nona Shin, susah sekali menghubungimu," katanya sambil meletakkan buku di tangannya dan menatapku. Agak terkesan sarkas saat ia memandangiku begitu.

"Aku sedang tidak ingin bertemu siapa pun."

"Nah, ini kau menemuiku."

Aku terdiam dan kembali bertanya, "Bagaimana kabarmu?"

"Baik sekali, sangat baik. Sudah hampir sebulan dan ku kira kau sudah menghilang begitu saja."

Aku mendengkus sambil menyandarkan punggungku ke sandaran sofa. Sementara kami mulai berbicara saling sindir. Dia mengomentari sikapku yang menurutnya tidak sopan terhadap pria CEO itu.

"Taekim mengatakan semuanya padaku mengenai apa yang kau lakukan padanya malam itu. Dan aku ingin tanya, apa kau berniat ingin membunuh Taekim di rumahnya sendiri lalu kabur begitu saja tanpa berniat menolongnya?" ujar Jimin.

"Please! Dia punya segudang pelayan. Lagi pula aku hanya mencekiknya."

"Kau memukul perutnya keras sekali. Kau juga akan menghunuskan pisau ke arahnya."

"Kapan aku memakai pisau?"

"Dia mengatakannya seperti itu."

"Dan kau percaya mulutnya itu?"

"Ya tentu saja!"

"Oh ya?! Kalau begitu sana kau pacaran dengannya saja sana! Lagi pula dia juga cinta mati padamu!"

Aku mendengkus sebal sambil bersedekap di sofa ruang kerja Jimin. Sementara Jimin duduk di meja kerjanya sambil melakukan hal yang sama, memandangku seolah aku adalah sumber masalah terbesar dalam perkara sepele semacam ini.

Aku yakin seribu persen bahwa dia pura-pura pingsan agar bisa mengadu pada Jimin hal-hal yang tidak aku lakukan, lalu menjadikannya itu sebagai sesuatu yang sangat salah.

Gila saja! Aku hanya mencekik, menggigit tangannya, dan memberikan tinjuan di wajahnya tapi tidak dengan pisau. Itu berlebihan!

Dan dia pingsan di luar ekspektasiku. Siapa, sih, yang pingsan hanya dengan perlawanan semacam itu? Dasar makhluk lemah.

"Lalu sekarang maumu apa?" tanyaku lagi karena menyerah ditatapi Jimin begitu.

Kacamata yang dikenakannya sampai berkilat, pandangan tajamnya menyorot padaku. Segitu marahkah dia aku melecehkan harga diri pria gay semacam Taekim?

"Minta maaf padanya."

Sudah kuduga.

"Tidak, ah!" Aku merengut. "Enak saja. kau tahu apa rencananya malam itu tidak? Dia mau aku jadi budak seksnya. Wajar tidak, sih, aku melakukan perlawanan? Hah!? Aku curiga dia bukan hanya gay, atau jangan-jagan dia biseksual? Bisa sajakan suatu waktu dia mengajak kita bertiga untuk bermain di ranjang yang sama?"

"Memangnya kau mau?" tanya Jimin. Aku terdiam, mengerjap sebentar dan mendengkus sebal.

Aku memicingkan mata menatapnya penuh curiga. "Kau sahabatku bukan sih? Atau jangan-jangan kau punya rahasia yang tidak aku ketahui?"

LOVE SCENARIO [lengkap] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang