Lima

42 8 1
                                    

Sejak kecil aku selalu memiliki kebiasaan menuliskan impian dan keinginanku pada sebuah buku diari dan hal tersebut masih aku lakukan hingga kini. Dan ajaibnya Taekim perlahan membuat keinginan itu menjadi nyata. Seperti aladin, dia memberikanku apa yang aku inginkan, satu demi satu.

Setelah kudengar Taekim mengatakan kepada seseorang di telepon. "Oh, begitu... baiklah. Katakan padanya aku akan menyusul dengan jet pribadi. Dan aku bersama seorang wanita."

"Ke mana sebenarnya kita akan pergi?" tanyaku ketika aku memutuskan untuk mengikutinya keluar dari gedung perusahaannya, lalu disambut seorang sopir yang membukakan mobil setibanya kami di lobi.

"Kita akan lepas landas menuju Jeju," jawab Taekim seraya melirik jam tangannya. "Mungkin akan sampai pukul tiga sore." Dan saat ini masih pukul setengah dua sore.

Kemudian aku duduk bersamanya di kursi penumpang sambil berpikir apa yang terjadi saat ini masih terlalu sulit untuk diterima.

"Apa yang kau rencanakan?" tanyaku. "Apakah ini bagian dari perjanjiannya? Aku bahkan belum mengajukan hal-hal yang harus kita lakukan."

"Jika kau ingin menolongku, maka kita mulai dengan yang satu ini dulu."

"Apa memangnya?" tanyaku.

"Pertama, orang tuaku besok akan kembali ke Amerika dan hari ini aku harus menemui mereka sebelum mereka kembali."

"Lalu?"

Taekim berdeham, lalu dia mengisyaratkan padaku untuk mendekat supaya dia bisa berbisik di telingaku. Suara napas panasnya membuat telingaku hangat.

"Sebenarnya aku berniat tidak akan menemui mereka sampai mereka kembali. Namun, aku takut mereka cemas mengenai kondisiku yang mengancam reputasi keluarga."

Aku mengerutkan dahi.

"Aku dengar mereka berencana akan mengganti posisiku dengan adikku. Jadi, aku sangat butuh bantuanmu untuk berjaga-jaga."

"Benarkah seperti itu?" tanyaku.

Taekim mengangguk. Beberapa detik aku menatapnya sebelum beralih memandang lurus ke depan. Penjelasannya itu membuatku menyadari bahwa dia sangat terbuka dan percaya padaku, meski pertemuan kami tergolong singkat.

***

Sekarang aku mulai tahu bagaimana sosok Taekim yang sebenarnya.

Dia benar-benar membawaku menuju Jeju dengan menaiki pesawat pribadi miliknya. Jangan tanyakan bagaimana perasaanku, karena aku tak berhenti takjub dan benar-benar tidak menyangka dengan semua ini.

Aku seperti merasa Jimin duduk di sampingku dan memandangku sambil tersenyum, kemudian berkata, "Bagaimana Naya? Bukankah ini menyenangkan? Buat dia melupakanku lalu jatuh cinta padamu, dia bisa melakukan apa saja untukmu daripada aku."

Aku menatap pada bayangan yang kemudian lenyap tergerus udara. Maka aku mengalihkan pandangan ke luar jendela hingga aku pun kemudian tertidur.

Kami sampai di bandara Jeju sekitar pukul tiga sore, karena lama perjalanan dari Seoul ke Jeju itu hanya memakan waktu satu jam lebih beberapa menit.

Dan seperti yang kuduga, Taekim selalu disambut layaknya pangeran oleh sopir yang datang menaiki mobil mewah.

Taekim mengenakan kacamata hitamnya, membuat dia benar-benar terlihat luar biasa. Dengan gaya bak model ia berjalan di sampingku yang diiringi oleh asistennya. Kami pun menuju mobil yang berhenti tak jauh dari kami.

"Kau harus mengubah penampilanmu dulu," katanya saat memasuki mobil yang kemudian melaju.

"Aku rasa tidak perlu. Aku sudah cukup baik dengan ini." Aku pikir aku sudah berpenampilan layak, aku mengenakan dress maroon selutut favoritku, juga sepatu terbaik yang aku miliki. Namun, ternyata tidak cukup layak bagi Taekim.

Taekim memandangku datar dan berkata, "Kau seperti pelayan bar."

Aku terkejut dan menggeram kesal saat mendengarnya. "What the...."

"Audra akan menertawaimu," imbuhnya lagi.

"Oke, siapa Audra dan apa haknya menertawaiku?" Dan sial aku memang pelayan bar. Aku jadi merasa dihina dua kali.

"Dia benci perempuan dengan penampilan yang payah."

"Aku tidak seburuk itu."

Taekim membuka kacamatanya dan melirikku, meneliti dari atas ke bawah, lalu berhenti di payudaraku.

"Walau kau cantik, kau tidak memiliki tubuh yang cukup indah. Itu semua karena selera berpakaianmu sangat payah, sadar tidak? Jika aku jadi kau aku tidak akan sudi berpenampilan seperti ini karena tidak percaya diri. Apa pendapat Jimin mengenaimu, huh?"

Aku hanya diam saja selagi dia mengomel.

Walau begitu aku tetap menurut saja ketika dia menyuruh sopirnya berhenti di sebuah toko pakaian. Mumpung yang bersamaku memiliki dompet super tebal, tentu saja aku tidak akan menyia-nyiakannya. Seorang pegawai wanita melayani kami dengan penuh kesabaran saat Taekim meminta untuk memberikanku pakaian terbaik yang ada di toko itu.

"Ini jelek, tolong ganti!"

"Tidak! Kakinya jadi terlihat pendek."

"Ganti dengan yang lain. Apakah di sini tidak punya pakaian yang lebih bagus lagi?"

Dia sangat cerewet dan sulit merasa puas, ketika aku keluar dan masuk dari ruang ganti dan memperlihatkan padanya pakaian yang dia pilih.

Hingga akhirnya dia mengangguk ketika aku keluar dari ruang ganti dengan mengenakan dress hitam dengan bahu yang sedikit terekspos. Ini pakaian yang cukup seksi. Jimin akan memarahiku jika tahu aku mengenakan pakaian yang seperti ini. Tetapi Taekim saat ini memandang ke arahku dengan ekspresi sangat puas. Dia meneliti dengan alis tebalnya yang menukik tajam dan seringaian di bibir seperti pria hidung belang yang mendapatkan target.

Kalau saja aku tidak ingat dia adalah seorang gay. Aku pasti sudah memukul kepalanya saat memandangi lekuk tubuhku dengan tatapan berbinar. Aku memutuskan mengabaikannya saja, lalu kami langsung pergi menuju resort di mana orang tuanya sedang menunggu.

Selama perjalanan, aku melihat bagaimana Taekim kembali disibukkan oleh pekerjaannya. Dia meneliti berkas-berkas dan lebih banyak berbicara kepada asistennya, daripada meladeni kecemasanku tentang apa yang harus kulakukan nanti di hadapan orang tuanya.

Apa yang harus aku katakan? Mengaku sebagai kekasihnya? Apakah aku bisa berakting dengan baik? Aku sangat cemas. Aku cemas apabila nanti aku termakan gugup dan berakhir malu karena ketahuan berbohong.

Semua pemikiran itu sangat menggangguku hingga kami tiba di tempat itu. sebuah resort yang dekat dengan laut, memiliki pemandangan yang sangat indah, begitu bersih dan nyaman untuk dilihat.

Aku lagi-lagi mengikuti Taekim yang keluar dari mobil, lalu sang asisten berbicara padanya.

"Mereka sekarang menunggu di restoran, Pak."

"Oke." Taekim berdeham sesaat sambil merapikan penampilannya.

Aku mengekorinya seperti pencuri di belakang. Kami pun tiba di sebuah restoran, dan Taekim menghampiri meja yang dekat dengan pemandangan laut di luar. Saat itulah jantungku berdebar kencang, aku semakin gugup.

Ayah Taekim adalah pria berwajah darah campuran Korea-Amerika, sedangkan ibunya adalah Amerika. Di sana juga ada seorang wanita muda yang terlihat masa bodoh akan kedatangan Taekim.

Kedua orang tuanya berdiri ketika menyadari kedatangan Taekim.

Pria itu pun menyapa keluarganya dengan suara yang lantang. "Mom, Dad!"

"Oh, ya ampun, putraku!" Kedua orang tuanya memeluknya bersama-sama.

Perhatianku tertuju pada wanita yang duduk di meja itu yang memandangku dengan ekspresi tidak suka. 

LOVE SCENARIO [lengkap] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang