08 | Percaya?

1.3K 179 65
                                    

08

"Sejauh ini, orang tuaku hanya menginginkan cucu bukan menantu."

Telinga Jaemin seakan berdegung mendengar itu. Ingin rasanya Jaemin membantah ucapan Haechan. Dia ingat betul bagaimana perlakuan pria itu padanya. Dan rasanya sangat tidak mungkin Haechan tidak menyukainya.

Bukannya percaya diri, Jaemin hanya percaya dengan perasaannya. Omega itu peka dan sejauh ini, Jaemin tidak pernah salah menilai orang.

"Aku gak mau percaya."

Haechan menghela napas. Kedua tangannya dia letakkan di pinggang. Menatap Jaemin yang berdiri di depannya.

"Kalau aku tidak menyukaimu, memangnya kenapa?" tanya Haechan, dia mendekatkan tubuhnya ke Jaemin. "Apa itu mengganggumu?"

Jaemin menatap kedua mata Haechan berani. Walaupun sekarang, tubuhnya sedikit bergetar. Entahlah, kenapa dia seperti ini? Tapi, ada sebagian darinya yang tidak terima mendengar Haechan mengatakan hal seperti itu.

"Kau membuatku jadi mesin pencetak anak untukmu?" Jaemin balik bertanya.

"Kenapa aku harus menganggapmu seperti itu?" Haechan mengernyit. "Kau lebih penting dari itu."

Jaemin mengepalkan kedua tangannya kuat. Ingin rasanya dia melayangkan pukulan ke wajah Haechan sekarang. Pria itu sangat menyebalkan.

"Kalau aku menganggapmu sebagai mesin pencetak anak, lebih baik aku mencari Omega dominan untuk melakukannya. Bukan yang resesif."

Hati Jaemin tersentil mendengar itu. Wajahnya memerah karena kesal. "Lalu? Kenapa kau tidak membiarkan aku menggugurkannya?"

Pheromone Haechan menyebar. Menguasai indra penciuman Jaemin. Rasanya sedikit pusing. Haechan cukup berlebihan.

"Karena kau atau bayinya sama-sama penting."

"Kau bilang sebelumnya kalau—"

"Lupakan yang sebelumnya."

Rasa kesal Jaemin suda sampai ke ubun-ubun. Pemuda itu mengangkat tangan kanannya dan memukul wajah Haechan.

"Dasar brengsek!" umpat Jaemin lalu dia berjalan meninggalkan Haechan. Menghentakkan kakinya sebagai pelampiasan.

Haechan menyentuh sudut bibir kirinya. "Dia tetap Omega yang tingginya lebih dari 175 senti," gumam Haechan, "Agak sakit."

~

Rasa kesal Jaemin sedikitnya menghilang setelah pemuda itu memilih untuk menghamburkan uang milik Haechan. Jaemin ingin berharap kalau setidaknya Haechan merasa kesal atau apa terserah. Tetapi, pria itu tampak biasa saja. Seolah kelakuan Jaemin itu hal yang biasa dan uang yang dihamburkan itu sedikit.

Dan karena Jaemin tidak paham dengan konsep otak para orang kaya, Jaemin akhirnya biarkan saja.

Menjelang sore seperti sekarang ini, Jaemin memutuskan untuk pergi berkeliling. Yang tentu saja setelah itu menabok Haechan untuk tidak ikut. Lagi pula, Jaemin tidak akan nyasar. Tidak ada rumah dengan banyak gang di sini.

Ditemani Rey, kucing oren itu sudah dipasang tali. Jadi tidak akan kabur. Ya walaupun Jaemin ragu kalau Rey akan kabur. Mengingat kucing itu amat sangat pemalas.

Kendaraan yang lewat bisa Jaemin hitung. Sangat jarang. Jaemin malah lebih sering melihat pejalan kaki atau mereka menggunakan sepeda. Tempat yang cocok untuk menenangkan diri memang.

"Jaemin?"

Langkah Jaemin terhenti. Dia membalikkan tubuhnya dan mendapati Renjun yang sedikit berlari ke arahnya. Jaemin berkedip. Kenapa Renjun bisa ada di sini?

RENJANA [HYUCKNA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang