Tahun ajaran baru di Universitas Leiden, wajah-wajah baru mulai memasuki kelas-kelas yang kini sudah penuh. Beragam warna mahasiswa baru menyambut seorang dosen berkemeja biru tua dengan celana panjang krem yang sudah memulai kelas. Dengan sebuah layar besar di hadapan puluhan mahasiswa ini, ia memulai kelas dengan tegas.
“Selamat pagi, Meneer.” Sebuah suara dari ambang pintu membuyarkan kalimat pria itu, semua pasang mata pun menangkap asal suara itu yang tengah berdiri bersandar ambang pintu dengan topi yang menutupi wajahnya.
Perlahan langkahnya memasuki ruangan yang cukup luas ini. "Maafkan saya terlambat.” Ucapnya kemudian mendongak hingga wajahnya kini tak tertutup topi fedoranya lagi.
Mata tegas dari dosen pria itu cukup kebingungan, badut dari mana yang datang pikirnya. Pasalnya pemuda di hadapannya itu benar-benar nampak keluar dari petualangan gurun pasirnya, berjaket kulit warna coklat dengan kemeja coklat pasirnya serta topi fedora menempel di kepala dengan whip yang tergantung di pinggangnya.
“Apakah kau salah memasuki tempat? Disneyland bukan di sini.” Ucap pria itu tegas, semua pasang mata terpusat pada kedua orang di depan kelas ini.
Pemuda itu mengernyitkan dahinya. "Saya mahasiswa arkeologi baru. Saya yakin saya tidak salah tempat.” Ucapnya menyeringai dengan mengeratkan topinya lagi.
“Kau pikir kau siapa?” gumam pria itu sudah cukup muak.
“Saya?” pemuda itu menunjuk dirinya sendiri kemudian kembali tersenyum menyeringai. “Indiana Jones.” Ucapnya kemudian dengan begitu bangga.
Tiba-tiba sebuah suara tawa begitu keras menggema di ruangan ini membuat semua mata seketika beralih ke arahnya, seorang gadis berambut pirang sebahu tergerai yang mengenakan jaket hoodie berwarna hitam itu cekakakan begitu keras.
Cukup lama ia tak dapat menghentikan tawanya. "Dia Indiana Jones.” Ucapnya parau di sela tawanya, setelah cukup lama ia tergelak; sudut matanya menangkap semua mata yang tertuju padanya—membuatnya seketika diam.
Pria itu menunjuk ke bangku-bangku dan menyuruh Indiana Jones itu untuk duduk dengan gertakan, pemuda itu kemudian duduk di sebelah gadis yang baru saja menertawainya itu—terpaksa—karena hanya itu bangku kosong di ruangan ini.
Wajah gadis itu memerah, bukan apa, dia menahan tawanya semaksimal mungkin. “Baiklah, mari kita lanjutkan kelas.” Ucap pria itu melerai kegaduhan yang terjadi baru saja.
Tak terasa kelas berlalu begitu cepat. "Baik, kalian akan berpasang-pasangan untuk mengerjakan proyek ini. Di tengah semester kalian akan mulai mempresentasikannya.” Ucap pria itu mengakhiri kelas meninggalkan seisi ruangan yang gaduh memilih pasangan.
Gadis yang tadi tertawa begitu keras itu kini panik dan tak mengerti apa-apa pun hanya celingukan, ia tak tahu harus memanggil siapa karena bahkan ia belum tahu semua teman-temannya. Hingga, Indiana Jones bertopi fedora itu melihatnya dari sudut mata. Gadis itu pun melihatnya dengan pikiran yang berkecamuk.
Hampir ia mengalihkan pandangannya. "Lo mau sekelompok sama gue?” Tiba-tiba suara menggema membuatnya mengurungkan niatnya untuk mengalihkan pandangannya.
Ia tersenyum kecut dengan kerutan di dahi, pemuda itu menunggu jawaban dari gadis itu yang hanya memandangnya dengan wajah aneh. Gadis itu pun mengangguk dengan nampak terpaksa, tapi pemuda itu tetap tersenyum. “Oke, nanti kita kerja kelompoknya di rumah gue aja. Gue share location nanti.” ucap pemuda itu kemudian pergi meninggalkan sang gadis tanpa sepatah kata pun lagi.
Senja mulai menggerayangi, jingga di ufuk barat sudah nampak, namun, hal itu tak menyurutkan tekad gadis itu untuk mengayuh sepedanya menuju sebuah titik yang ditunjukkan maps di ponselnya. Sebuah titik sekitar Jalan Wolkers Straat tak jauh dari kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Liefde: Tara Edricsen
Historical FictionSetidaknya kehidupan Tara Edricsen akan terus berwarna karena ada sahabatnya di sana. Masalah ekonomi keluarga Edricsen mengharuskan Lars menjual kapal milik keluarga. Tara harus diam-diam bekerja keras untuk membayar tuition fee-nya sendiri dan har...