A Box

1 0 0
                                    

Semester baru dengan semangat baru, fakultas arkeologi Universitas Leiden adalah salah satu fakultas dengan peminat yang banyak. Bahkan bukan hanya dari dalam negeri saja, banyak mahasiswa dari luar negara yang ingin masuk. 

Pagi hari di bulan Maret yang lumayan disinari cahaya matahari, musim panas akan datang sebentar lagi, cahaya matahari terkadang sudah menyinari bumi bagian Belanda yang selalu dingin dengan curah hujan tinggi ini. Henry sudah terduduk di dalam ruangan yang luas ini dengan matanya yang terus menatap ambang pintu, harap-harap orang yang ditunggunya itu datang.

Kakinya bergoyang risau, jari-jarinya tak henti memencet layar ponselnya. Sudah sejak tadi pagi ia menelepon Tara, namun, bahkan tak satupun dari panggilannya yang terjawab. Kemana agaknya Tara pergi? tanyanya pada diri sendiri.

Bahkan hingga seorang pria paruh baya dengan jas berwarna biru tua bergaris-garis itu masuk dan memulai kelas, batang hidung gadis itu tak juga nampak.

Henry menulis materi kelas pagi ini tanpa bisa tenang, hingga akhirnya sebuah kegaduhan datang dari ambang pintu. Tara dengan rambutnya yang cukup kusut dan jaket hoodie-nya yang berwarna merah begitu kontras dengan celana piyama berwarna hijaunya. Agaknya kalau-kalau ini bulan Desember; bisa saja orang salah mengira ia pohon natal berjalan.

Tara segera meminta maaf kepada dosen yang berdiri di depan kelas dan segera duduk di kursi tepat di sebelah Henry. “Lo kemana aja sih, Tar?” Bisik Henry cukup keras.

Nampaknya pria paruh baya di hadapan kelas itu cukup mendengar bisikan yang keras itu, ia hanya menatap ke arah Henry dan Tara dengan mulut yang terkatup bahkan tanpa secercah senyuman.

Nampaknya Henry tak dapat meluapkan risaunya kini di kelas, dan harus menahannya—setidaknya sampai kelas habis. Tara pun merapikan rambut dan pakaiannya yang nampak kusut, bak putri tidur yang baru saja bangun dan langsung berlari maraton.

Professor Colin Andrew Firth, pria paruh baya yang tengah mengajar di kelas ini. Seorang dosen pendatang dari Inggris yang sudah sejak tahun pertama Henry dan Tara masuk sudah mengajar di kelas yang mereka ambil. Umurnya sekitar lima puluh tahunan, tapi hal itu tak menyurutkan Tara untuk terkagum-kagum padanya.

Tak jarang bagi Tara saat di kelas, ia bukan fokus pada materi; tetapi fokus pada pria paruh baya itu. Setiap kali ia melirik atau menatap Tara membuat Tara seakan lupa kalau ia sudah setua itu.

Pun kini, Tara kembali terpusatkan pada pria itu. Sudah dua bulan sejak liburan dimulai ia tak melihat Colin, membuatnya kini seakan ingin memandangnya lekat-lekat. Henry yang menyadari itu seketika menangkup wajah Tara membuatnya sedikit kesal. Tara berdecak, untung saja suara video di proyektor kini cukup keras hingga dapat menyamarkan decakannya baru saja.

Sebuah video terpampang di layar proyektor, sebuah video penjelasan dasar mengenai naskah kuno terpampang di sana. Analisis naskah kuno adalah mata kuliah yang kini Colin ampu.

Beberapa saat kemudian video yang ditayangkan itu berakhir. “Baik, di semester ini kalian akan berpasangan untuk mengulik sebuah naskah kuno yang kalian tentukan masing-masing, beberapa aspek yang harus kalian masukkan ke dalam makalahnya adalah identitas, karakteristik penggunaan bahasa, isi naskah dan sejarah awal hingga akhir naskah. Kalian bisa menambahkan bagaimana kalian mendapatkan naskah itu.” Jelas Colin.

Pria paruh baya itu pun mematikan layar proyektor dan kembali menyalakan lampu. "Tugas itu akan dikumpulkan di akhir semester. Salah satu project yang terpilih akan diberi apresiasi sebuah seminar dan penghargaan nasional langsung dari rektor.”

Mata Tara terbelalak seketika mendengar penjelasan Colin itu, ia membayangkan sebuah seminar dimana wajahnya akan ada di sana. Naik ke mimbar dengan hoodie-nya, atau mungkin ia akan pikirkan pakaian lain untuk naik ke mimbar nanti.

Liefde: Tara EdricsenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang