Author Notes: Baca part ini, sambil dengar lagu That Should Be Me by Justin Bieber. Biar berasa nyeseknya. Heheheheh.. happy reading.
Kehilangan sosok Bang Gio, membuat gue sangat sedih. Bahkan, melihat fotonya di rumah duka dan di makam hari ini masih menyisakan sesak. Gue belum bisa merelakan kepergian Bang Gio, sepupu terbaik yang pernah ada. Kalau bukan karena dia, mungkin gue nggak akan meneruskan band The Posphene.
Bang Gio selalu menyemangati gue untuk terus menekuni hobi, walaupun Papa nggak pernah setuju. Kadang, dia juga suka mencari informasi lomba band. Wawancara radio kemarin, itu pun hasil rekomendasi Bang Gio yang punya kenalan seorang penyiar.
Bang Gio adalah anak dari adik Papa, Om Hari. Sebenarnya, dia dulu pernah punya adik, tapi Tante Freya keguguran. Itu sebabnya, dia selalu menganggap gue sebagai adik. Begitupun sebaliknya. Kami selalu saling berbagi cerita satu sama lain dan nggak pernah menghakimi.
"Vanno," suara Papa membuat lamunan gue buyar. Pandangan gue terasa hampa, meski banyak orang yang tengah menabur bunga di pusara Bang Gio sementara gue hanya berdiri mematung.
"Ayo pulang, kalau kamu masih mau istirahat di rumah besok Papa yang urus izin ke sekolah." Beliau terus berusaha membujuk, sambil mengulurkan tangannya.
"Nanti Pa, Vanno masih mau disini. Mau temenin Bang Gio, biar nggak sendirian."
"Vanno.. sudah ya, Nak? Relakan Gio, biarkan dia beristirahat dengan tenang." bisik Eyang Kakung, yang juga masih berkaca-kaca.
"Van, kita semua juga merasa kehilangan. Tapi, hidup harus terus berjalan. Bang Gio pasti sedih, kalau lihat lo terus-menerus meratapi kepergiannya."
Kata-kata David pun akhirnya membuat gue beranjak walau masih terasa lemas. Kepergian Bang Gio layaknya sebuah mimpi yang terjadi sangat cepat, bahkan saat di rumah duka gue masih berharap kalau dia hanya tidur sebentar dan akan bangun lagi sambil ledekin gue karena menangis di sampingnya.
Saat akan pulang, tiba-tiba gue melihat Garin menghampiri sambil berlari kecil. Dia nggak sendirian, ada Vega, Shena, Rafa, Ersya, Kak Nevan, Savita dan beberapa murid SMA Citra Buana lainnya. Mereka memberikan buket bunga mawar putih dan kotak berisi piala, piagam serta seragam taekwondo milik Bang Gio.
"Ini kenang-kenangan Kak Gio selama jadi atlet di Citra Buana, nggak banyak yang bisa kita kumpulin karena beberapa udah usang. Semoga, ini bisa jadi obat rindu buat lo ya."
"Tetap semangat, Van. Bang Gio pasti bahagia, karena lo nggak pernah menyerah untuk mengejar mimpi."
Hari itu, buat pertama kalinya gue merasakan kehangatan dari keluarga dan teman-teman yang ternyata memang selalu ada. Mungkin, Bang Gio juga ingin memberi pesan kalau gue nggak akan sendirian di sini.
🌼🌼🌼🌼
Dua bulan kemudian...Ujian semester genap sudah berakhir, tandanya sebentar lagi aku akan jadi murid kelas 12. Kak Vega juga bakal segera lulus, tapi aku belum tanya dia mau lanjut kemana karena sibuk belajar dan latihan.
Sementara itu, aku ditawari bergabung dengan OSIS oleh Kak Dharin. Tapi, aku masih bingung karena kegiatan MUN juga sedang padat. Aku harus mewakili sekolah dalam lomba pidato dan Olimpiade Bahasa, sampai rasanya badanku kelelahan. Jadi, aku pun harus mengurangi beberapa kegiatan supaya bisa ikut bimbel di hari Jumat. Ibu bahkan selalu membawakan aku vitamin, untuk jaga-jaga.
Untungnya, libur kenaikan kelas sudah semakin dekat dan aku bisa bermain dengan Shena dan Ghea. Kami pergi ke mall dan membeli beberapa komik, lalu mengabadikan foto di photobox.
"Rin, Ghe, kalian nanti mau kuliah dimana? Kita harus siap-siap dari sekarang, nih. Gue pengen ke UGM, jurusan Hukum bareng sama Kak Dharin. Hehe.." Shena tersipu sambil terkekeh girang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BANANA CHIPS
Teen FictionPindah ke SMA Citra Buana di Jakarta, membuat Garin cemas karena tidak pandai beradaptasi di lingkungan yang berbeda. Apalagi, ia adalah sosok gadis yang introvert dan tidak percaya diri. Sampai saat hari pertama masuk, Garin mengenal Shena dan Ghea...