Bab 16: Melankolia

14 2 0
                                    

tw/mention of death, depression & suicide


Vanno mengendarai motornya dengan mengebut, lalu berhenti di sebuah sasana tinju. Ia kerap menumpahkan penatnya, meski lebih sering ditunjukkan dengan amarah. Bahkan, kali ini, Vanno hampir merusak samsak lagi dengan pukulannya.

Cowok itu terkapar dengan tubuh yang berkeringat, lalu menyiramkan sebotol air ke wajah dan tubuhnya. Seketika, seorang lelaki berpostur lebih tinggi melempar handuk ke arahnya. Dia adalah Gio, kakak sepupu Vanno yang merupakan pelatih tinju.

Gio menggelengkan kepalanya sambil tertawa, saat melihat Vanno masih bernapas dengan terengah-engah.

"Bro, olahraga itu bukan buat balas dendam dan lampiasin emosi. Tapi, buat bakar kalori. Lo kenapa sih? Berantem lagi sama bokap? Atau habis dihukum guru?"

"Nggak ada apa-apa kok, Bang. Gue lagi males aja pulang ke rumah, pengen disini dulu bentar." Vanno mencoba menyangkal, meski matanya jelas-jelas memancarkan amarah dan kesedihan.

"Lo pasti, lagi kepikiran Tante Amira ya?" tebak Gio selagi Vanno bersiap untuk membilas badannya. " Eyang cerita ke gue, katanya kemarin udah ketemu sama beliau di rumah sakit."

Vanno mengambil handuk dan baju ganti dari dalam loker, lalu menoleh.

"Iya, tapi gue nggak bisa masuk karena orang yang gue anggap sebagai Mama kandung nggak mau ketemu sama anaknya. Padahal, gue mau kasih semangat supaya dia bisa sembuh."

"Van, nyokap lo mungkin belum sanggup untuk ketemu anak-anaknya karena rasa bersalah yang besar. Tapi, lo tetap nggak boleh nyerah gitu aja." Gio mencoba membujuk Vanno yang sudah seperti adik kandung baginya, sebab Gio adalah anak tunggal.

Vanno berdecak seraya melangkah ke ruang bilas. "Gue udah muak, Bang. Bagi gue sekarang, sosok Mama udah nggak ada. Untuk apa lagi gue mencoba ketemu? Nggak ada gunanya lagi, dia akan tetap benci sama gue dan Kaira."

Beberapa menit kemudian, Vanno sudah selesai mandi dan menemui Gio yang menunggu di mobilnya untuk mengantar pulang. Sementara, motor Vanno di titipkan terlebih dahulu.

Gio menyalakan radio dan mengencangkan AC, sebelum mengajak Vanno bicara.

"Van, sebenarnya tante Amira sempat pengen nitipin lo dan Kaira sama keluarga gue. Tapi, nyokap gue nggak setuju karena namanya orangtua harus bertanggungjawab merawat dan mendidik anaknya sampai dewasa."

" Saat itu, tante Amira berusaha untuk terus meyakinkan nyokap dengan segala cara. Sampai akhirnya, beliau jujur tentang penyakit kanker serviks udah lama dia derita setelah Kaira berumur tiga tahun. Itu sebabnya, tante Amira merasa bersalah. Beliau berpikir, untuk apa hidup di dunia kalau nggak bisa selalu bersama dengan keluarganya."

"Terus, apa dengan menitipkan gue dan Kaira, Mama bisa sembuh lalu melepaskan bebannya? Bagi gue, keputusan Mama itu egois." ketus Vanno sambil menggertakkan giginya.

Gio menepikan mobilnya di dekat sebuah taman, untuk menenangkan emosi. Ia tahu betul, anak seusia Vanno sangat sulit mengontrol emosi.

"Dari sudut pandang anak, mungkin seperti itu. Tapi, tante Amira juga merasa gagal jadi seorang ibu karena nggak bisa merawat lo juga Kaira dengan baik. Karena itu, beliau udah nyiapin tabungan pendidikan buat kalian."

"Nggak cuma itu,  tante Amira sempat nonton penampilan lo di pensi dan lomba band. Beliau juga yang menyumbang alat musik di Citra Buana, Van. Kalau lo mau tahu, isi galeri ponselnya itu semua tentang lo sama Kaira. Tante Amira sering kirim tas baru, bayarin seragam Kaira di sekolah lewat Eyang. Di kamarnya, beliau simpan semua piagam penghargaan yang pernah lo dan Kaira dapatkan."

BANANA CHIPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang