Chapter 25, in which the driver of this pink car seems to hate me

6 1 0
                                    

Jumat pada minggu pertama sekolah tiba dengan cepat, dan semua orang siap menyambut akhir pekan bersama tugas-tugas jam kosong yang menggunung. Namun tidak ada yang nampak peduli, karena rata-rata pekerjaan rumah tidak akan dikumpulkan sampai dua minggu lagi dan mulai dari Senin tidak akan ada yang ingat soal belajar sampai pesta dansa berlalu.

"Aku berpikir untuk memanfaatkan waktu yang ada sebaik mungkin," Jason berkata padaku begitu tiba saatnya pulang sekolah, ketika kami baru saja keluar dari kelas Geometri. "Sabtu ini aku tidak ada latihan voli. Kalau kau mau, kita bisa mengerjakan PR."

Langkahku sampai terhenti mendadak gara-gara mendengarnya, nyaris membuatku ditabrak dari belakang. Untung saja sekumpulan siswa itu melihatku dan hanya menggerutu dengan suara rendah seraya mengambil jalan memutar.

Seharusnya aku tidak terkejut lagi ketika Jason menawarkan untuk mengerjakan tugas bersama. Dalam seminggu ini, dia bagaikan lahir kembali ke dunia dalam wajah yang sama tapi dengan kerajinan meningkat sejuta persen. Kudapati Jason mulai mencoba menjawab pertanyaan guru, bertanya ketika ada yang tidak dipahami, dan masuk kelas lebih rajin dari biasanya. Tiga tahun sebelum ini, aku hanya tahu keberadaan pemuda itu dari namanya yang disebut saat absensi serta sosok kebanyakan senyumnya yang berjalan di koridor sekolah bersama rekan setimnya.

Namun, walau sudah mengantisipasi pun, tetap saja segala perubahan itu membuatku terdiam sebentar untuk mencerna segala sesuatu yang baru ini.

"Jaaadiii?" Jason bertanya dengan nada dipanjangkan, menyadarkanku dari rasa heran.

"Oke."

"Kenapa kau kelihatan ragu begitu?"

"Tidak." Aku menyelipkan rambutku yang mulai panjang ke balik telinga, sekilas mengingatkan diri untuk memotongnya kalau sempat. "Hanya teringat kalau dulu kau seperti hantu di sekolah."

"Hantu?" Salah satu alisnya terangkat.

"Cuma disebut namanya dan nyaris tak pernah terlihat."

Pemuda itu mengedikkan bahunya. "Tidak boleh mengecewakan tutorku, kan?"

Kini senyumnya menular padaku. "Jadi, kita mau belajar di mana? MomenTea? Bagaimana dengan Damian dan Frederic?" aku bertanya balik, secara tidak langsung mengiakan ajakannya.

Senyumannya yang semula santai itu kini terlihat sedikit kaku. Jason mengalihkan pandangan ke sekitar, mencoba mencari jawaban di antara dinding kelas dan ubin putih pada lantai. "Oh, ya, uh... sebenarnya, kupikir kita bisa lebih serius jika belajar berdua. Kau tahulah, kadang terlalu banyak orang akan agak merepotkan. Aku akan susah fokus."

"Oh, kurasa itu benar juga?" Aku sendiri terdengar kurang yakin pada awalnya, tetapi semakin kupikirkan, ucapan Jason tidak sepenuhnya salah. "Mau ketemuan di mana?"

Kali ini pemuda itu menyugar rambutnya dengan jemari. "Sebenarnya, akhir pekan ini orang tuaku tidak di rumah. Hanya ada aku dan Liv. Rumah jadi sepi sekali, dan aku tidak mau adikku sendirian. Aku bisa menjemputmu kalau mau."

Ke rumah Jason. Rumah sepi.

Dengan cepat sebuah tangan tak kasatmata menamparku. Ada adiknya, Amity, astaga.

"Nanti kukabari lagi."

Jason mengangguk cepat, "Ya, oke. Baguslah. Aku benar-benar mau menyelesaikan PR Geometri tadi secepat mungkin. Mrs. Mallory tidak punya hati."

Aku mendesis dengan telunjuk menempel ke bibir. "Semua orang berteori dia satu keluarga dengan Mrs. Bellish, karena siapa lagi guru yang memberi PR setumpuk tanpa belas kasih?" tanyaku dengan suara rendah, khawatir sang empunya nama mendadak muncul dan memberi kami seabrek tugas tambahan.

I Swear This Time Is DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang