Chapter 3.5, in which Amity Chen might kill me

22 4 2
                                    

Posisi bola itu terasa pas di tangan, dan Jason yakin dia bisa mencium bau kemenangan. Kecuali, bau itu sebenarnya tidak menyenangkan karena merupakan perpaduan antara keringat dan kaos kaki yang tidak kunjung diganti.

Tapi yang terpenting adalah bola yang bergerak sesuai dengan kehendaknya; seakan dia sungguh punya kekuatan untuk mengendalikan segala sesuatu. Ketika lawan mengira dia akan mengoper ke depan, Jason melengkungkan tubuh, mengirim bola ke belakang dan langsung dipukul ke depan oleh smash maut Damian.

Skor pertandingan berakhir dengan 25 - 22. Semua orang di tim Jason langsung berkumpul, membentuk pelukan kelompok dan menepuk pundak satu sama lain. Penonton di tepi lapangan bersorak heboh dan Jason bisa merasakan gemuruh tepuk tangan mereka bahkan dari balik pembuluh darahnya. Rasanya luar biasa, seperti dihidupkan kembali. Kemenangan meninggalkan kecapan manis di lidah, membuat sudut bibir Jason mau tak mau melengkung naik membentuk cengiran. Sensasi panas membara di kulitnya bahkan menjadi hal yang dia nanti-nantikan, sebuah makanan penutup setelah kardio berkepanjangan yang menguras napas.

Tiupan peluit panjang dari Coach Justin menjadi tanda berakhirnya latihan hari itu. Sementara para anggota tim putra sibuk mengambil minum dan handuk masing-masing, seseorang sudah membawakannya untuk Jason.

"Yang tadi itu keren banget!" Emilia memuji seraya menyerahkan minuman kepadanya, kemudian membantu menyampirkan handuk pada bahu Jason.

"Sungguh?" Jason bisa merasakan ledakan dalam dirinya ketika menerima pujian semacam itu. Bukannya dia haus validasi, tetapi senang mengetahui dirinya tidak buruk-buruk amat dalam olahraga yang digemarinya ini.

Emilia mengangguk semangat. "Saat kau melakukan gerak tipu itu, kami semua berpikiran sama. Lalu kau mengirim bola ke arah lain." Gadis itu mendesah. "Pokoknya keren sekali. Kalian akan sukses di turnamen musim panas."

Jason tertawa kecil, mencoba untuk tidak tersipu menanggapi ucapan tersebut. Dia cuma berharap Emilia tidak memujinya hanya karena mereka teman. Semoga saja Jason benar-benar bermain dengan baik sehingga orang-orang sungguh kagum karenanya. Dan kiranya gadis itu benar soal pertandingan musim panas. Kekalahan mereka tahun lalu di semifinal masih membekas jelas dan semua orang tahu mereka setidaknya harus lolos ke final agar semua latihan yang telah dilalui mendapat hasil yang sepantasnya.

"Terima kasih. Nah, kurasa aku harus latihan sebent—"

"Jason, sebenarnya aku harus mengambil sesuatu di loker." Emilia meraih sejumput ujung rambutnya dan memilinnya di antara jemari. "Tolong temankan aku, ya? Sebentar saja, kok. Lorong loker sepi di akhir pekan seperti ini."

"Tapi yang lain—" Jason menoleh ke belakang, mendapati bahwa semua temannya sudah pergi lebih dulu, dan Emilia masih menatapnya penuh harap. Sebenarnya, Jason berpikir untuk melatih servis lagi setelah ini, tapi itu bisa menunggu. Lagi pun, tim putri masih sibuk dengan permainan mereka sehingga gimnasium tidak akan ditutup dalam waktu dekat. "Baiklah."

Senyum merekah di wajah Emilia hanya karena bantuan sederhana ini. Harus diakui, Jason bisa ikut merasakan kelegaan tatkala melihat gadis itu lepas dari bebannya. Belakangan ini, bayang-bayang kematian anjing peliharaannya tidak membuat Emilia sesedih sebelumnya lagi. Berbeda dengan beberapa minggu lalu, ketika gadis itu bisa menangis tiba-tiba jika melihat seseorang berjalan bersama anjing mereka, yang mana hal tersebut cukup mengkhawatirkan di mata Jason. Dia sudah melakukan segala sesuatu demi mengurangi kesedihan gadis itu dan senang rasanya melihat ada perkembangan.

Kita boleh saja sedih, tapi tidak baik pula jika terus berlama-lama dalam duka, itu yang Ibu katakan dulu saat Jason kehilangan ikan mas kesayangannya dan menolak melakukan apa pun selain menemani makam sang ikan di perkarangan rumah, khawatir roh hewan itu akan kesepian dan ketakutan di tengah kegelapan.

I Swear This Time Is DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang