[00:00] CHAPTER 3

16 3 22
                                    

_____________________00:00_____________________

.
.
"Jeon."

Sarapan berjalan lebih daripada tenang —Sejeong sudah baik, jadi bisa membuat makan yang baik seperti biasa, setidaknya tiada protes bagaimana Jeon menikmati amunisinya— ketika Sejeong memecah keheningan.

Maka seperti biasa pula, hanya lirikan tanpa minat yang menanggapi. Tanpa kata bagaimana sorot sepasang netra legam itu menuntut maksud panggilan segera diperjelas.

"Hari ini aku masih memiliki jadwal pertemuan di Xyn Entertainment." Mengantisipasi kejadian semalam terulang, maka Sejeong menjelaskan lebih awal. "Sepulangnya aku ada janji bertemu dengan temanku, yang baru kembali dari London. Jadi mungkin aku akan pulang sedikit larut lagi."

Jeda sekon teramat panjang, Jeon memilih berlanjut menghabiskan isi piringnya. Sampai suapan terakhir tertelan, barulah respon mengudara.

"Sejujurnya aku tidak cukup peduli. Kau tidak pulang pun ..tidak masalah." Teramat apatis, dan selalu begitu. "Toh, sama saja. Kau ada pun, tidak berguna."

Tapi agaknya, yang terakhir itu keterlaluan.

"Selain hanya untuk menyiapkan makanan. Jadi amankan amunisi perutku lebih dulu untuk malam ini, selebihnya ..terserah."

Benar. Bagi Jeon, Sejeong tiada artinya. Jikapun ada, maka hanya setara asisten rumah tangga. Yang membuatkan amunisi perut, menyiapkan kebutuhan pekerjaan Jeon dan yang lainnya, lalu membersihkan rumah. Tidak lebih dari itu.

Jeon sama sekali tidak pernah menganggap Sejeong sebagai istri, pun tak pernah menempatkan posisi diri sebagai seorang suami.

Untuk kebutuhan batin ..sejauh satu tahun, Jeon nyaris tidak pernah meminta. Bukan tidak pernah melakukan —sejak pengalaman pertama Sejeong kala itu, Jeon hanya tidak menggunakan hati. Pernah sekali melakukannya secara sadar, itupun sebab dia mendadak turn on, hanya menggunakan Sejeong tuk menjadi peluap dan pemuas sebab tidak bisa menahan diri. Selebihnya ia hanya akan melakukan itu secara tidak sengaja di bawah pengaruh alkohol.

Mabuk?

Yeah.. Tetapi kini dalam batas normal —tidak seperti kala lalu. Hanya sesekali ketika ingin atau sedang tertuntut stress, seperti kebiasaan banyak orang pada umumnya di jaman sekarang. Sedikit perubahan yang baik. Dan jauh lebih baik, kebiasaan seks Jeon sungguh hilang. Dia bukan lagi penggila seks. Jika pernah, maka seperti yang disebutkan di atas ..hanya pada Sejeong.

Cukup. Setidaknya batin Sejeong tidak ikut terluka, disaat fisik selalu menjadi sasaran emosi Jeon.

"Jika aku tidak sempat pulang untuk membuat makanan untukmu ..tak apa jika aku pesankan makanan cepat saji saja?"

Sejeong berhenti di muka pintu —mengantarkan Jeon bekerja— sedikit harapan ada sekon lelaki itu berhenti, menatapnya dan mengucapkan ..aku pergi, jaga dirimu baik-baik.. dengan kecupan manis.

Oke, yang terakhir itu angan yang terlalu tinggi. Jeon tidak akan pernah melakukannya.

Bahkan kini hanya untuk sekedar berhenti, Jeon tidak sama sekali. Langkahnya terus berlanjut menuju Hyundai putihnya.

"Terserah."

Dan hanya itu satu-satunya respon sebelum dia melesakkan diri ke dalam mobil, melenggang pergi tanpa sesingkatpun klakson sebagai tanda pamit. Meninggalkan Sejeong yang hanya mampu menghela napas panjang, sekali lagi ..perlu bersabar.

_____________________00:00_____________________

Persis kemarin, jadwal yang menumpuk mengharuskan Sejeong selesai ketika lanskap telah bergulir gelap. Antisipasi —tidak sempat pulang— terjadi, maka ia memenuhi janji yang lain. Memesan beberapa makanan cepat saji untuk Jeon, dengan pesan singkat..

Ghost Touch [00:00]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang