3. Bukan Orangnya

417 36 0
                                    

Langkah Ronan sedikit terburu karena ia terlambat hampir 15 menit. Ia mengambil langkah besarnya menuju ruangan yang telah diberitahu oleh asisten Kartika sebelumnya. Kala kakinya mencapai tepat di depan pintu, ia menarik napas panjang sebelum menarik kenop dan membuka pintu itu.

"Lah? Kok lo, Ndra? Katanya udah bukan lo yang urus."

Bukan perempuan, tapi seorang laki-laki yang juga teman dekatnya yang Ronan temui siang ini.

"Duh, sorry deh kalo lo ngarepnya ketemu sama Saliya." balas Andra sedikit tertawa yang sukses dihadiahi Ronan oleh pukulan kencang di lengannya.

"Sakit anjir!" pekik Andra sambil mengelus bekas pukulan Ronan.

"Anaknya mendadak ada urusan sama klien di butik. Jadinya gue gantiin dulu. Kalo ada yang gak oke, ntar dia yang turun sendiri." jelas Andra pada Ronan.

Ronan mengangguk paham mendengarnya, meski di dalam hatinya terasa sedikit mengganjal.

"Yaudah, mulai aja, ya." ucapnya yang kemudian mengawali percakapan mereka dalam ranah profesional di siang hari itu.

⊹₊ ˚‧︵‿₊୨୧₊‿︵‧ ˚ ₊⊹

Di tempat lain, Saliya rasanya ingin meledak karena rapat yang seharusnya bisa terjadi sebentar malah lebih lama dari yang sudah direncanakan. Ia rasanya sudah ingin berteriak kencang karena lelah dengan berbagai revisi yang diminta oleh Bu Ambar terkait rancangannya. Padahal jam makan siang sudah hampir selesai dan ia masih harus menemui dua klien lagi.

Sebuah pesan masuk dari Andra mengalihkan fokus gadis itu sejenak dan membiarkan Gendis menyimak penjelasan Bu Ambar seorang diri.

Giandra Sutedja
Udah kelar, Ca.
Ternyata dari Tante Tika diwakilin sama anaknya yg temen gue.
Sejauh ini aman.
Jd nanti lo tinggal cek gmn gmn nya.
Nanti gue kabarin detailnya pas di rumah gmn?

Saliya Sutedja
Makasih, Mas.
Lah, enak dong jdnya sm temen?
Okeee, Mas.
Boleh aja. Tp gue kyknya lembur hari ini sampe bsk.
Trs nginep di apart.
Klien gue ribet bgt, Allah.

Giandra Sutedja
Yaudah.
Gue ke Serena aja kl gitu.
After office.
Nanti gue kabarin.
Semangat. 🤲🏻🤲🏻🤲🏻

Saliya Sutedja
Okidoki.
Gue lanjut lg, ya.
Thx btw.

Saliya segera mengunci layar ponselnya setelah mengirimkan balasannya pada Andra dan menyimak dengan seksama penjelasan Bu Ambar sambil merangkai kata-katanya untuk menolak permintaan yang terkesan rumit.

"Ibu, maaf saya potong." ujar Saliya di tengah-tengah Bu Ambar mengambil jedanya. Ia berdehem sebelum kembali melanjutkan kalimatnya, "Saya rasa, agaknya sulit untuk kami dan tim mengikuti kemauan Ibu. Saya tidak masalah jika harus mengurangi biaya produksi dengan mencari bahan alternatif yang lebih terjangkau. Tapi, desain yang ibu minta di sini lebih sulit dari desain awal dan akan memakan banyak pekerja untuk menyelesaikannya. Yang terjadi adalah, biayanya akan lebih membengkak dari desain pertama yang kami tawarkan."

Ekspresi masam sudah diperlihatkan oleh Bu Ambar kala mendengar penjelasan Saliya meskipun ia belum selesai. "Saya dan tim Serena tentu ingin mengusahakan yang terbaik untuk klien. Tapi, untuk yang satu ini, saya rasa Serena sulit untuk mewujudkannya. Dengan harga murah yang Ibu inginkan untuk membuat 3 gaun dengan detail yang rumit, sangat tidak masuk akal untuk kami. Selanjutnya, Gendis akan mengirimkan detail mengenai saran kami terkait permintaan Ibu melalui email. Saya rasa, Ibu bisa mempertimbangkan hal ini dengan baik, lalu menghubungi kami lagi di kemudian hari." tutup Saliya.

Gendis yang menyimak penjelasan itu hanya bisa melongo mendengar kalimat terakhir yang Saliya ucapkan pada Bu Ambar. Dan siapa pun saat ini menyadari bahwa wanita paruh baya di hadapan mereka sudah bersiap mengeluarkan amarahnya pada Saliya.

"Karena jam makan siang sudah hampir selesai dan setelah ini saya dan Gendis masih memiliki kesibukan lain, kami mohon ijin untuk pamit. Terima kasih atas jamuan makan siangnya dan maaf karena saya belum bisa memenuhi keinginan Ibu." Saliya berpamitan dengan cepat tanpa membiarkan Bu Ambar membalas kalimatnya dan melirik sekilas ekspresi kesal yang sudah ditampilkan beliau sejak tadi.

Ia bergegas merapikan barang-barangnya dan menundukkan kepala sejenak pada Bu Ambar serta asistennya lalu melesat pergi meninggalkan restoran yang diikuti Gendis di belakangnya.

"Mbak, ya ampun! Kalo Tante Laras tau lo bisa lawan Bu Ambar kayak tadi beliau pasti melongo juga kayak gue!" ucap Gendis setelah berhasil mengejar Saliya dengan langkah besarnya.

Saliya terkekeh mendengarnya. "Gimana ya, Ndis. Gue capek banget sama beliau. Yang bener aja rombak 3 gaun 15 juta tapi waktu nya 1.5 bulan? Terus desainnya lebih rumit dari yang awal." keluhnya sambil tersenyum kecut.

Gendis mengangguk setuju mendengar itu. "Gue juga, Mbak! Udah ditawarin yang lain, masih ngotot. Pas gue bilang buat payet dan lain-lain untuk desain yang dia mau itu artinya nambah pekerja, karena waktunya mepet. Masa tadi pas lo ke toilet, beliau bilang, "Pekerjanya bisa dikurangin gak, Ndis? Jadi 3 aja gitu. Biar gak kemahalan." Ngomongnya sih sambil ketawa, tapi, 3 orang buat mayet 3 dress apa gak gila? Gue yang bayangin aja gila!"

Saliya mendesah lelah mendengar curahan hati Gendis tadi. "Harusnya Bunda dari awal emang blacklist aja ini orang. Tapi, beliau emang gak tegaan banget! Persis Yangkung banget. Kenapa sifat tegaannya Yangti bukannya nurun ke Bunda, malah nurun ke Om Wira sama Tante Riri, ya?" ucapnya dengan asal yang kemudian disambut dengan tawanya dan Gendis.

"Biar adil, Mbak. Om Wisnu sama Tante Laras nurun Yangkung. Nah, Tante Riri sama Om Wira kebagiannya Yangti. HAHAHAHA."

Meledaklah tawa Saliya siang itu setelah mendengar balasan Gendis padanya. Ia seketika terlupa dengan kejadian yang tak mengenakkan sebelumnya.

"Nanti jangan lupa kirimin beliau email tentang offer yang lain, ya. Gue udah catet alternatifnya dan share ke email lo." ucapnya pada Gendis yang dibalas dengan anggukan.

"Janjian sama Mbak Saras nanti jam 3 dan langsung di butik, Mbak. Kalo Vivi, katanya bisanya after office dan langsung ke butik juga." Gendis mengingatkan Saliya setelah memastikan yang dikatakan oleh gadis itu.

"Hmmm." gumamnya tanda mengerti lalu melajukan mobilnya meninggalkan area restoran menuju Serena Attire dengan kecepatan sedang.

⊹₊ ˚‧︵‿₊୨୧₊‿︵‧ ˚ ₊⊹

"Udah gue kabarin ke anaknya. Thanks, Ron." ucap Andra setelah pertemuan singkatnya dan Ronan berakhir.

"Yaelah, Ndra. Kayak sama siapa aja," kekehnya. "Gue juga makasih, nih. Soalnya Mama juga gak jelasin detailnya gimana. Gue dapet brief singkat aja dari asistennya." keluh lelaki itu.

"Ya lagian, tumben juga lo yang wakilin Tante Tika? Biasanya juga asisten atau pengelola hotel, atau mentok ke Sachi." balas Andra tertawa.

Ronan berdecak kesal mendengar itu. "Ya emang! Pernah dari kementrian juga asistennya yang turun tangan. Sachi lagi pengabdian di Sukabumi katanya. Tapi, hotel ini sebenernya emang under control gue dan masuk di list kantor gue. Cuma, gue belum pernah turun langsung aja. Baru ini, itu juga udah dipaksa banget sama Mama tadi. Sampe diancem diambekin dah!" cerocosnya tanpa sadar.

Andra terkikik geli mendengar hal itu. "Gak papa, Ron. Saliya juga jomblo, kok."

"Eh maksud lo apa ya, babi?" sahut Ronan dengan suara yang sedikit naik.

"Gue bilang aja! Ya, kali aja tertarik kenalan," lanjutnya yang masih tertawa. "Kalo mau, gue bisa bantu. Jangan ke Mas Satya, soalnya dia trauma ngenalin temen ke Caca."

Ronan tak lagi memiliki minat seperti sebelumnya untuk menanggapi hal itu dan hanya menampakkan ekspresi malas mendengar kalimat Andra tadi.

Hearts of FortuneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang