Kecurigaan Yang Tumbuh

124 11 0
                                    


Beberapa hari telah berlalu sejak malam itu, namun perasaan tak nyaman di hati Indah tidak juga hilang. Justru semakin hari, rasa itu semakin kuat. Indah merasa ada jarak di antara mereka, yang tak pernah ada sebelumnya. Oniel memang tetap bersikap biasa saja—ramah dengan Oline, sesekali bertanya tentang hari-hari Indah, tetapi kehangatan dan koneksi di antara mereka terasa semakin hilang.

Pagi itu, Indah sedang menyiapkan sarapan ketika dia melihat Oniel lagi-lagi menatap ponselnya. Wajahnya serius, jari-jarinya mengetik dengan cepat di layar.

"Siapa yang kamu chat, Mas?" tanya Indah, mencoba terdengar biasa. Ia tak ingin terlihat terlalu ingin tahu, meskipun sebenarnya hatinya mulai tak tenang.

Oniel tersenyum tipis, masih menatap layar ponsel. "Oh, Eve lagi. Dia nanya soal bisnis aku. Dia katanya tertarik mau mulai bisnis kecil-kecilan di bidang yang sama."

Indah terdiam. Eve lagi. Kenapa akhir-akhir ini nama itu terus muncul? Dan kenapa harus Oniel yang jadi tempat Eve mencari saran?

Pikiran-pikiran seperti itu terus melayang di kepala Indah, tapi dia berusaha menenangkan dirinya. Mungkin memang cuma teman lama yang saling bertukar cerita. Lagi pula, Oniel belum pernah memberi alasan untuknya meragukan kesetiaannya. Tapi mengapa setiap kali Oniel menyebut nama Eve, perasaan cemas itu makin kuat?

Hari itu, Oniel berangkat ke kantor seperti biasa. Namun, sebelum pergi, Indah mendapati Oniel sempat mengetik pesan singkat di ponselnya—lagi-lagi dengan ekspresi serius. Sesaat setelah Oniel keluar dari apartemen, Indah merasa resah. Di satu sisi, dia merasa ini tidak adil untuk Oniel, tetapi di sisi lain, rasa curiga itu terus menggerogoti pikirannya.

Indah duduk di ruang tamu, berusaha menenangkan pikirannya. Namun, tatapannya terus melirik ke arah ponsel yang ditinggalkan Oniel di atas meja. Biasanya, Oniel selalu membawa ponselnya, tapi kali ini dia tampaknya terlalu terburu-buru hingga lupa.

Indah menatap ponsel itu, jantungnya berdegup lebih cepat. Haruskah dia mengecek? Apakah ini akan membuatnya terlihat seperti istri yang tidak percaya pada suaminya? Tapi perasaan tak nyaman itu tidak juga hilang. Akhirnya, setelah beberapa menit mempertimbangkan, Indah meraih ponsel tersebut.

Tangannya sedikit gemetar saat dia membuka layar ponsel. Untungnya, Oniel tidak mengaktifkan kata sandi. Dengan cepat, Indah membuka aplikasi pesan. Dia menelusuri riwayat percakapan, dan seperti yang diduganya, ada banyak pesan dari Eve. Percakapan mereka terlihat biasa, tapi ada sesuatu di sana yang membuat hati Indah semakin tak tenang.

Misalnya, pesan dari Eve malam sebelumnya, "Kangen ngobrol kayak dulu. Rasanya nyaman banget bisa cerita sama kamu, Niel." Lalu ada balasan dari Oniel, "Iya, ngobrol sama kamu memang selalu nyambung. Aku juga senang bisa ketemu kamu lagi setelah sekian lama."

Indah membeku. Mungkin pesan-pesan itu terdengar biasa bagi sebagian orang, tapi bagi Indah, ada sesuatu yang salah. Oniel selalu bilang komunikasi mereka hanya soal bisnis, tapi dari pesan-pesan ini, kelihatannya tidak hanya itu. Mungkin memang tidak ada yang secara eksplisit menunjukkan hubungan romantis, tapi cara mereka berbicara membuat Indah merasa kecil di sudut hatinya.

Tangan Indah mulai berkeringat. Dia merasa menyesal telah membuka ponsel Oniel, tapi di saat yang sama, dia merasa seolah-olah instingnya terbukti benar. Air mata mulai menggenang di matanya, tapi dia cepat-cepat menghapusnya. "Jangan berpikir yang tidak-tidak, Ndah," bisiknya pada diri sendiri. "Ini mungkin cuma salah paham. Oniel pasti punya alasan."

Namun, rasa itu tetap ada, menempel erat di pikirannya. Dia tak bisa menepis rasa cemburu dan sakit hati yang mulai menggerogoti keyakinannya pada hubungan mereka. Meski mencoba berpikir positif, bayangan Oniel dan Eve terus mengisi kepalanya sepanjang hari.

Malamnya, Oniel pulang dengan senyum lelah, seolah tak ada yang terjadi. Indah menatap suaminya, berusaha mencari jawaban dalam senyumnya, tapi ia hanya menemukan kekosongan. Malam itu, Indah memilih diam, menahan segala pertanyaan yang membebani pikirannya. Bukannya berbicara, dia hanya melanjutkan rutinitas seperti biasa—makan malam bersama, menidurkan Oline, lalu tidur dalam diam di sebelah Oniel.

Namun, keheningan itu semakin lama semakin menjadi beban. Indah tahu, cepat atau lambat, dia harus berbicara. Dia harus menanyakan tentang pesan-pesan itu. Tapi kapan? Dan bagaimana cara memulainya tanpa terdengar seperti menuduh?

Hingga pada suatu malam, Indah tak bisa lagi menahan kegelisahannya.

"Oniel..." panggilnya pelan setelah mereka berbaring di tempat tidur. Oniel yang setengah mengantuk membuka mata, menoleh ke arah Indah. "Iya, kenapa, sayang?" jawabnya dengan nada lembut, meski matanya masih terlihat lelah.

Indah menatap langit-langit kamar mereka sejenak sebelum menghela napas panjang. "Aku mau tanya sesuatu. Tentang Eve."

Oniel langsung terbangun, duduk di atas ranjang. "Eve? Ada apa memangnya?"

"Kalian masih sering chat, kan?" tanya Indah hati-hati, meski dia tahu jawabannya.

Oniel tampak sedikit bingung, tapi mengangguk. "Iya, kita masih sering ngobrol. Tapi nggak ada apa-apa, Ndah. Aku cuma bantu dia soal bisnis yang mau dia mulai. Kamu nggak perlu khawatir."

"Tapi..." Indah berhenti sejenak, menahan air mata yang hampir keluar. "Aku lihat pesannya, Niel. Aku tahu aku nggak seharusnya buka ponsel kamu, tapi aku cuma mau memastikan... Aku lihat, kalian nggak cuma ngobrol soal bisnis."

Oniel terdiam. Mata Indah penuh dengan harap, seolah mencari penjelasan yang bisa menenangkan hatinya. Tapi Oniel tak langsung menjawab. Ada jeda panjang sebelum akhirnya dia berkata, "Aku... aku memang salah. Harusnya aku nggak terus komunikasi sama dia di luar urusan kerja. Tapi, Ndah, aku nggak pernah bermaksud apa-apa. Sungguh, nggak ada apa-apa di antara kami."

"Tapi kenapa harus kamu yang selalu jadi tempat dia curhat? Kenapa dia selalu cari kamu?" tanya Indah, suaranya bergetar.

Oniel menunduk, mengusap wajahnya dengan tangan. "Aku nggak tahu. Mungkin karena dia nggak punya banyak teman di sini, dan aku satu-satunya orang yang dia kenal dari masa lalu. Tapi, aku janji, Ndah, nggak ada yang lebih dari sekadar teman."

Indah hanya bisa menghela napas panjang. Rasa sakit di hatinya tak sepenuhnya hilang, tapi dia juga tak bisa sepenuhnya menyalahkan Oniel. Dia tahu, mungkin ini hanyalah kesalahpahaman. Tapi tetap saja, luka itu sudah tergores, dan untuk menyembuhkannya, butuh lebih dari sekadar kata-kata.

Di sisi lain, Oniel tahu dia telah mengabaikan perasaan Indah selama ini. Mungkin dia tak pernah berniat menyakiti istrinya, tapi dia sadar bahwa dengan membiarkan Eve terus ada di dalam hidup mereka, dia telah menciptakan celah yang tak seharusnya ada. Celah yang kini mulai melebar, dan Oniel harus segera mencari cara untuk menutupnya, sebelum semuanya terlambat.

KesalahpahamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang