Jarak Yang Makin Terasa

110 13 0
                                    


Hari-hari berlalu dengan cepat setelah percakapan mereka malam itu, tetapi suasana antara Indah dan Oniel tak kunjung membaik. Meski Oniel sudah berjanji untuk membatasi komunikasi dengan Eve, Indah masih merasakan ada jarak yang semakin lebar di antara mereka. Rasa tidak nyaman itu terus menghantui setiap momen mereka bersama—terutama ketika Oniel masih sibuk dengan ponselnya, meskipun ia sudah mengatakan bahwa urusannya dengan Eve sudah selesai.

Indah tahu ia tak bisa terus-menerus mempertanyakan kesetiaan suaminya. Ia tahu Oniel tidak berbohong. Tapi luka di hatinya belum sembuh. Setiap kali ia melihat Oniel tersenyum sendiri saat melihat layar ponselnya, pikirannya kembali dipenuhi kekhawatiran. Apakah ada orang lain? Apakah Oniel masih menyembunyikan sesuatu? Perasaan-perasaan itu semakin sering muncul, membuatnya tak bisa menikmati momen-momen kecil bersama keluarga mereka.

Pagi itu, Indah sedang memasak sarapan ketika Oline tiba-tiba muncul di dapur sambil membawa boneka kelincinya.

"Mama, Papa kemana?" tanya Oline dengan mata polos.

"Papa lagi di kamar, sayang. Nanti juga keluar," jawab Indah sambil mengusap rambut Oline dengan lembut.

Oline mengangguk, lalu berlari ke arah kamar Oniel. Indah tersenyum tipis, mendengar tawa riang Oline membuatnya sedikit tenang. Namun, beberapa menit kemudian, Oline kembali ke dapur dengan wajah bingung.

"Mama, Papa lagi ngomong sama siapa di telepon?"

Indah berhenti mengaduk nasi goreng di wajan. "Telepon? Papa lagi telepon siapa?" tanyanya, setengah bicara pada diri sendiri. Tanpa pikir panjang, ia melepas celemek dan melangkah menuju kamar mereka. Jantungnya mulai berdegup cepat.

Dari depan pintu kamar, Indah mendengar suara Oniel sedang berbicara dengan seseorang. Suaranya tidak terlalu keras, tetapi cukup jelas untuk didengar.

"Ya, aku ngerti kok... Iya, aku juga kangen ngobrol sama kamu," suara Oniel terdengar lembut, membuat hati Indah terasa mencelos.

Kata-kata itu seakan menamparnya. Indah merasa lemas, tangannya gemetar di pegangan pintu. Dia tahu siapa yang sedang berbicara dengan Oniel. Eve. Lagi-lagi Eve. Meskipun Oniel sudah berjanji, dia masih tetap menjalin komunikasi dengan perempuan itu.

Indah melangkah mundur, tak sanggup untuk mendengar lebih lama. Tanpa suara, ia kembali ke dapur, mencoba menenangkan dirinya. Namun, air mata sudah tak bisa dibendung. Segala emosi yang selama ini ia tahan kini mengalir deras. Rasa kecewa, marah, cemburu, dan sakit hati bercampur aduk. Ia merasa dipermainkan.

***

Malam harinya, suasana di apartemen mereka begitu hening. Oniel tak menyadari bahwa Indah tahu tentang teleponnya pagi tadi. Indah sendiri masih berusaha menenangkan hatinya, meskipun ia tahu bahwa perasaan itu tidak akan hilang begitu saja. Setelah Oline tertidur, Indah dan Oniel duduk di sofa ruang tamu. Televisi menyala, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar menonton.

"Ndah," panggil Oniel tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka. "Kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu kayaknya nggak pernah mau ngobrol sama aku."

Indah menoleh, menatap Oniel dengan mata yang dipenuhi emosi. "Aku?" suaranya bergetar. "Harusnya aku yang tanya kamu, Niel. Kenapa kamu masih terus-terusan komunikasi sama Eve, padahal kamu sudah janji?"

Oniel terdiam sejenak, wajahnya menunjukkan kebingungan. "Maksud kamu apa? Aku cuma ngobrol sebentar tadi pagi. Nggak ada yang penting."

"Sebentar?" Indah tertawa pahit. "Kamu bilang kamu kangen ngobrol sama dia, Niel. Itu cuma sebentar buat kamu?"

Oniel terkejut. "Kamu dengar?"

Indah mengangguk pelan, air matanya mulai menggenang lagi. "Aku nggak sengaja dengar kamu ngomong di telepon tadi pagi. Kamu bilang kamu kangen ngobrol sama dia. Kamu janji nggak akan kontak dia lagi, tapi nyatanya apa? Kamu masih terus bicara sama dia, bahkan bilang hal-hal yang kamu nggak pernah bilang ke aku."

Oniel terdiam, tak tahu harus berkata apa. Ia tahu ia salah. Ia tahu, meskipun percakapan itu tidak berarti apa-apa baginya, tetapi bagi Indah, itu adalah pengkhianatan.

"Ndah, aku... aku minta maaf," ucap Oniel akhirnya, dengan suara pelan. "Aku benar-benar nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma... nggak tahu kenapa aku ngomong kayak gitu. Aku nggak pernah ada niat buat nyakitin kamu."

"Tapi kamu sudah menyakitiku, Niel," potong Indah, suaranya mulai pecah oleh tangis yang ia tahan. "Kamu janji sama aku. Kamu bilang kalian cuma ngobrol soal kerjaan. Tapi sekarang kamu bilang kangen? Gimana aku bisa percaya sama kamu kalau begini terus?"

Oniel mengusap wajahnya dengan frustasi. "Ndah, aku bener-bener nggak ada perasaan apa-apa sama Eve. Aku cuma bingung, mungkin karena kami punya banyak kenangan dari masa lalu, tapi itu bukan berarti aku mau kembali ke dia. Aku sayang kamu, Ndah. Aku sayang keluarga kita."

Indah terdiam. Kata-kata Oniel seakan tidak cukup untuk mengobati luka di hatinya. Ia tahu Oniel tidak berniat mengkhianatinya, tapi setiap percakapan yang Oniel lakukan dengan Eve, setiap detik yang dihabiskannya dengan perempuan lain, seolah merampas sedikit demi sedikit kebahagiaan yang dulu mereka miliki bersama.

"Kalau kamu memang sayang aku, Niel," ucap Indah pelan, "kenapa kamu masih kasih dia ruang di hidup kamu? Kenapa kamu terus-terusan biarin dia jadi bagian dari hubungan kita?"

Oniel tak bisa menjawab. Ada rasa bersalah yang begitu dalam di hatinya. Ia tahu, ia telah membiarkan Eve masuk kembali ke hidupnya, tanpa menyadari dampaknya pada pernikahannya dengan Indah.

Indah berdiri dari sofa, menghela napas panjang. "Aku butuh waktu, Niel. Aku butuh waktu buat berpikir. Aku nggak tahu harus ngapain sekarang, tapi aku nggak bisa terus seperti ini."

Oniel menatap Indah dengan tatapan sedih. "Ndah, tolong... jangan pergi."

Indah menggeleng. "Aku nggak pergi. Aku cuma... butuh sendiri dulu. Kita sama-sama butuh waktu untuk memahami ini semua."

Dengan langkah perlahan, Indah menuju kamar mereka dan menutup pintu, meninggalkan Oniel di ruang tamu dengan perasaan bersalah yang mendalam.

KesalahpahamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang