Ruang Untuk Sendiri

107 12 0
                                    


Malam itu menjadi awal dari perubahan besar dalam hubungan Oniel dan Indah. Keheningan menggantung tebal di antara mereka, tak ada lagi canda tawa yang biasa mengisi apartemen mereka. Indah semakin sering menarik diri, memilih menghabiskan waktu di kamar atau bersama Oline tanpa banyak bicara. Sementara Oniel hanya bisa menatap keluarganya dari jauh, merasa semakin jauh dari mereka.

Di hari-hari berikutnya, meskipun mereka tinggal di bawah atap yang sama, rasanya seperti hidup di dua dunia yang berbeda. Oniel sadar bahwa Indah semakin menjauh, tapi ia tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki keadaan. Ia mencoba mengajaknya berbicara beberapa kali, tapi Indah selalu menutup diri, mengatakan bahwa dia masih butuh waktu.

Suatu malam, setelah menidurkan Oline, Oniel memberanikan diri untuk berbicara lagi. Ia duduk di samping Indah yang sedang membaca buku di ruang tamu.

"Ndah, aku tahu kamu masih marah. Tapi kita nggak bisa terus-terusan begini," kata Oniel dengan nada lembut.

Indah menutup bukunya, menatap ke depan tanpa menoleh ke arah Oniel. "Aku nggak marah, Niel. Aku cuma... butuh waktu untuk memproses semuanya."

"Tapi sampai kapan?" Oniel mendesah. "Aku nggak mau kita jadi kayak orang asing di rumah sendiri."

Indah akhirnya menoleh, menatap Oniel dengan mata lelah. "Kamu nggak ngerti, Niel. Ini bukan cuma soal pesan atau telepon. Ini soal kepercayaan. Aku nggak bisa lagi percaya kalau kamu bilang nggak ada apa-apa, sementara kamu terus bicara sama dia. Gimana aku tahu kamu nggak bohong lagi?"

Oniel terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ia tahu Indah benar. Dia telah melanggar janji, dan kepercayaan yang dulu mereka bangun dengan susah payah kini hancur berkeping-keping. Tapi bagaimana cara memperbaikinya?

"Aku nggak bisa minta kamu percaya lagi dalam sekejap," Oniel akhirnya berkata, suaranya pelan. "Tapi aku akan berusaha. Aku akan tunjukkan kalau kamu yang terpenting buat aku. Nggak ada orang lain, Ndah. Cuma kamu dan Oline."

Indah hanya menatapnya dengan tatapan hampa. "Aku mau percaya, Niel. Tapi itu nggak mudah."

Oniel mengangguk pelan, paham bahwa tak ada gunanya memaksakan perasaan Indah. "Aku ngerti. Tapi aku di sini buat kamu. Kalau kamu butuh apa-apa, atau kalau kamu mau ngobrol, aku selalu ada."

Indah tidak menjawab. Ia hanya kembali membuka bukunya, seolah ingin mengakhiri percakapan itu. Oniel tahu, meski Indah tak berkata apa-apa, perasaan itu masih menyelimuti pikirannya. Ia merasa semakin kehilangan, meskipun Indah duduk di sampingnya.

***

Beberapa hari kemudian, di akhir pekan, Indah memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama Oline di luar. Mereka pergi ke taman bermain yang ada di sekitar apartemen, seperti biasa. Namun kali ini, Indah merasa ada yang berbeda. Ia merasa seakan-akan sedang lari dari kenyataan. Ia berusaha tersenyum dan tertawa bersama Oline, tapi hatinya terasa hampa.

Indah duduk di bangku taman, memperhatikan Oline bermain dengan anak-anak lain. Pikiran tentang Oniel dan hubungan mereka kembali menghantui. Ia ingin memperbaiki semuanya, tapi ia tak tahu harus mulai dari mana. Setiap kali ia mencoba memikirkan solusi, bayangan tentang Oniel dan Eve selalu muncul, membuatnya ragu akan segalanya.

Ponsel Indah bergetar di dalam tasnya, membuyarkan lamunannya. Ia merogoh tas dan melihat ada pesan dari Oniel.

"Ndah, aku tahu kamu lagi di taman sama Oline. Aku pengen ngobrol nanti kalau kamu pulang, boleh?" tulis Oniel.

Indah terdiam sejenak, menatap layar ponselnya. Ia tahu Oniel berusaha memperbaiki keadaan, tapi bagian dari dirinya belum siap untuk berbicara lagi. Namun, ia juga sadar bahwa mereka tidak bisa terus seperti ini. Dengan berat hati, ia membalas singkat, "Oke."

Setelah beberapa jam di taman, Indah dan Oline pulang ke apartemen. Oniel sudah menunggu di ruang tamu. Ketika mereka masuk, Oline langsung berlari ke arah ayahnya, memeluknya dengan ceria.

"Papa! Papa!" seru Oline dengan tawa polosnya. Oniel mengangkatnya ke atas dan tersenyum, meski hatinya penuh beban.

"Ayo kita main sebentar di kamar, ya?" kata Oniel kepada Oline. Anak kecil itu mengangguk, dan mereka berdua masuk ke kamar, meninggalkan Indah sendirian di ruang tamu.

Beberapa menit kemudian, Oniel keluar dari kamar setelah menidurkan Oline. Ia duduk di samping Indah, yang kini sudah duduk dengan posisi yang lebih tegang.

"Ndah, aku udah janji sama kamu, dan aku mau kamu tahu kalau aku benar-benar serius. Aku sudah hapus semua kontak Eve. Aku udah bilang ke dia kalau kita nggak bisa lagi komunikasi, apa pun alasannya," kata Oniel dengan nada penuh ketegasan.

Indah menatap suaminya dengan hati-hati, mencari tanda apakah Oniel benar-benar serius atau hanya basa-basi.

"Aku nggak mau kita terus kayak gini. Aku tahu aku salah, aku tahu aku udah bikin kamu sakit hati. Tapi aku nggak bisa terus hidup dengan perasaan bersalah kayak gini. Aku sayang sama kamu, Ndah. Sama keluarga kita. Aku nggak mau kehilangan kamu." Oniel menunduk, menyembunyikan ekspresi frustasinya.

Indah terdiam, kata-kata Oniel seakan menggema di kepalanya. Ia tahu suaminya tulus, tapi luka di hatinya belum sembuh. Kepercayaan yang hancur itu tidak bisa kembali dengan mudah. Namun, melihat kesungguhan di mata Oniel membuat hatinya sedikit luluh.

"Kenapa baru sekarang, Niel?" Indah akhirnya bertanya, suaranya pelan. "Kenapa kamu nggak dari awal jujur sama aku? Kalau kamu jujur dari awal, aku nggak akan merasa seperti ini."

Oniel menarik napas dalam-dalam. "Aku takut, Ndah. Aku takut kalau aku jujur, kamu bakal marah, dan hubungan kita bakal makin buruk. Tapi aku sadar, ketakutanku malah bikin semuanya makin parah."

Indah menatap suaminya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Aku nggak butuh kamu jadi sempurna, Niel. Aku cuma butuh kamu jujur sama aku. Karena itu satu-satunya hal yang bisa bikin aku percaya sama kamu lagi."

Oniel mengangguk, wajahnya penuh dengan rasa bersalah. "Aku janji, Ndah. Aku akan berubah. Aku akan perbaiki semuanya, meskipun butuh waktu."

Indah menunduk, air mata yang ia tahan akhirnya mengalir di pipinya. "Aku pengen kita baik-baik aja, Niel. Aku pengen kita bisa bahagia lagi, seperti dulu."

Oniel meraih tangan Indah, menggenggamnya erat. "Kita akan baik-baik aja, Ndah. Aku janji. Aku nggak akan sia-siakan kesempatan ini."

Malam itu, meski masalah belum sepenuhnya terselesaikan, mereka akhirnya mulai berbicara lagi. Meski masih ada luka, masih ada rasa sakit, tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Indah merasa ada harapan. Harapan bahwa hubungan mereka bisa kembali utuh, meskipun butuh waktu untuk menyembuhkan semua luka.

KesalahpahamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang