Doubt

34 2 0
                                    

Jantung Peter berdebar kencang, tapi dia mencoba bersikap tenang. Jangan terburu-buru, pikirnya. Mungkin ini semua hanya lelucon yang rumit. Mungkin Wade hanya mempermainkannya seperti yang biasa dilakukan Flash Thompson.

Flash selalu bersikap halus dalam menindasnya di sekolah menengah pertama—tidak pernah secara fisik, hanya kata-kata, pujian sarkastik dan kadang olok-olok yang membuat Peter meragukan semua hal tentang dirinya sendiri. Mungkin Wade juga sama seperti Flash. Lagipula, Wade dan Peter sangat berbeda. Wade lantang, percaya diri, dan selalu menjadi pusat perhatian. Peter? Dialah orang di belakang kamera, bukan yang di depannya.

Wade bersandar di kursinya, benar-benar rileks, seperti tidak menyadari badai yang ada di kepala Peter. "Kau berpikir terlalu keras, Pete," katanya memecah kesunyian. Senyumnya masih ada, tetapi matanya tampak lebih lembut sekarang, seolah ia dapat merasakan keraguan di ekspresi Peter. "Dengar, aku bukan Flash Thompson, oke?"

Peter membeku. Apa? Bagaimana dia-

"Ya, aku tahu soal Flash," Wade melanjutkan sambil mengangkat bahu, seolah hal itu bukan hal yang besar.

Peter menelan ludahnya dengan susah payah, tapi tenggorokannya terasa kering kerontang. Perutnya terasa sesak tak karuan. "Lalu kenapa kau-"

"Kenapa aku apa? Menggodamu?" Wade menyelesaikan kalimatnya, suaranya tenang tapi dengan ada sedikit sentuhan godaan ketika dia mengucapkannya. "Karena aku menyukaimu, Peter. Sesederhana itu"

Suka? Apa dia serius atau cuma main-main denganku?

Peter menunduk, matanya fokus ke tangannya yang sibuk mengutak-atik ujung lengan bajunya, jari-jarinya gelisah. "Tapi... kenapa?" suaranya nyaris berbisik ada keraguan di sana. "Kau kan... ya, kau sangat..." Dia menggantungkan kalimatnya, merasa bingung bagaimana caranya berbicara tentang hal ini tanpa terdengar konyol.

Wade mendekat sedikit, satu alisnya terangkat, seolah menantang Peter untuk menyelesaikan kalimatnya. "Sangat apa, Peter?" Suaranya tenang, tapi ada percikan penasaran di baliknya, seperti dia tahu apa yang Peter pikirkan, tapi ingin mendengarnya langsung.

Peter menggigit bibir bawahnya, rasa malu langsung merayap bahkan sebelum kalimat yang dia pikirkan keluar. "Kau itu... kebalikan dariku. Kau percaya diri, lucu, kau tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan. Sementara aku? Aku cuma... ya, aku. Canggung, selalu berpikir berlebihan, bukan orang yang suka berpesta atau memiliki banyak teman." Suaranya semakin pelan di akhir kalimat, seperti semua kekhawatirannya mulai menumpuk

Wade mencondongkan tubuhnya ke depan lagi, meletakkan lengannya di atas meja. Mata mereka bertemu untuk sesaat, dan nada santai Wade seketika berubah, menjadi lebih dalam. "Peter," katanya dengan pelan tapi tegas, "apa kau tahu kenapa aku menyukaimu?"

Peter hanya menggeleng pelan, menunduk lagi, perasaannya campur aduk. Di satu sisi, dia sangat ingin tahu apa yang akan Wade katakan, tapi di sisi lain, ketakutan mulai menguasainya. Apa benar dia mau mendengar jawabannya? Apa itu akan memperburuk perasaannya?

Tetap saja, rasa penasaran tak bisa dia abaikan. 

Kumohon, katakan sesuatu yang bagus..

"Karena kamu original" Wade tertawa mendengar perkataannya sendiri. "Baiklah, itu tadi terdengar seperti aku membicarakan rasa kopi. Tapi, intinya, aku menyukaimu karena kau tidak berusaha menjadi seseorang yang bukan dirimu."

Peter menimpali, "Tapi, kita sangat berbeda." Seperti minyak dan air.

Wade mengangkat bahu seolah itu adalah hal yang tidak penting. "Aku tidak peduli kalau kita berbeda."

Peter merasakan dadanya sesak seperti terlalu penuh dengan uap air. Dia masih tidak yakin apakah ini nyata, apakah orang seperti Wade benar-benar bisa menyukai orang seperti Peter. Namun ada sesuatu dari cara Wade menatapnya—seolah-olah dia menunggu Peter memercayainya.

Keheningan di antara mereka begitu keras. Suara berdesing mesin kopi yang dipakai oleh barista menjadi musik latar belakang yang mengiringi pembicaraan mereka. Wade menatap Peter. Sedangkan Peter merasa dunia yang sedang ia jalani sedang miring ke arah kanan dan semua perabot jatuh berantakan.

"Dan, eh, sebagai catatan..." Wade menyeringai,, tapi kali ini lebih lembut. Tampaknya dia sangat tidak suka keheningan. "Aku tidak akan memainkan permainan Flash bodoh itu. Jika aku menyukai seseorang, aku akan memberitahunya. Hidup ini terlalu singkat untuk berpura-pura."

Hentikan. Ini semua terlalu tiba-tiba.

Peter mendongak, menatap mata Wade. Humornya masih ada, tapi dibalut dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang tulus. Mungkin Wade tidak sedang mempermainkannya. Mungkin ini bukan sebuah lelucon yang kejam.

Tidak, tidak, bagaimana kalau ternyata semua ini hanya permainan yang diperagakan Wade?

"Aku... tidak tahu harus berkata apa," Peter mengakui pelan.

Mereka berdua saling pandang. Wade masih menyunggingkan senyumnya, dan Peter terlihat sama tidak yakin dari awal Wade duduk dan mulai berbicara. Peter berusaha mengalihkan tatapan matanya ke arah lain, berpura-pura mengetik sesuatu di laptopnya.

Belum ada lima menit, Wade tersenyum dan mengangkat bahu, memberikan sebuah pernyataan yang membuat Peter tertegun, "Kau tidak harus mengatakan apa-apa. Aku akan menunggu"

Ketegangan di perut Peter perlahan mulai mereda. Namun, dia masih merasa bingung, tidak yakin bagaimana semua ini masuk akal. Mempertanyakan apakah semua ini benar-benar nyata atau hanya sebuah sandiwara. Seorang Wade menyukai Peter adalah hal yang paling tidak masuk akal baginya. Tapi mungkin, ya mungkin saja, semua ini tidak harus masuk akal.

heartpuller - bxb - spideypoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang