Ayin merasa ini adalah momen paling canggung yang pernah ia alami bersama Rion. Mereka berdiri di luar toilet laki-laki, menunggu Nagara yang entah kenapa lama sekali di dalam. Ayin bersandar pada dinding di sebelah pintu masuk, sementara Rion bersandar di seberangnya. Jarak mereka hanya seukuran ruang masuk toilet, cukup dekat bagi Ayin untuk melihat samping wajah Rion. Ayin tidak pernah pelit soal pujian; dia selalu jujur mengakui bahwa temannya memang tampan, dari sudut mana pun dilihat.
"Ayin," Suara Rion mengejutkannya, tapi yang membuat Ayin terpaku adalah ketika Rion menoleh, dengan warna mata-yang kata Eji-manis dan hangat.
"Kenapa?"
Rion menatapnya serius, "Kayaknya, Papa selingkuh."
Dia berkedip sekali. Dua kali. Tiga kali. Dan... Ayin tetap tidak menemukan suara untuk menanggapi. Dia terlalu terkejut. Beritanya terlalu tiba-tiba. Paman Nara? Ayah Rion? Selingkuh? Pria yang selama ini dia dan Archi jadikan panutan ternyata melakukan hal tercela seperti itu? Dia ingin mencecar Rion dengan berbagai pertanyaan-siapa, kapan, bagaimana mungkin, kenapa-sampai dia melihat kilauan jenaka di mata Rion, diikuti oleh tawanya yang menyebalkan.
"Orion!" Seru Ayin, menyadari bahwa dia sedang dikerjai. "Kamu kalau bercanda jangan ngasal!" Ayin mendengus kesal.
"Muka kamu tadi serius banget. Dahimu tadi kayak gini nih!" Katanya sambil memperagakan ekspresi serius dengan mengernyitkan dahinya yang terlihat konyol.
Ayin mendesis kesal. Dia mengabaikan Rion dan memilih menunduk, menatap ujung sepatunya. Atmosfer di sekitar mereka memang sudah melunak akibat lelucon Rion yang tidak lucu itu, tapi Ayin masih merasa canggung untuk bertanya tentang cewek di gerbang tadi.
Memang bukan hal baru Rion didekati banyak perempuan. Ayin tahu dengan jelas, temannya itu pandai bergaul, cukup pintar, jabatannya sebagai kapten basket juga ikut mendongkrak popularitasnya, dan yang paling utama, temannya itu tampan. Tetapi, ini hal baru ketika melihat Rion memerah karena seorang cewek. Ayin memerhatikannya tadi. Telinga Rion sempat merah, ada sikap canggung yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Dia sangat ingin bertanya, tapi alam bawah sadarnya melempar tanya lain pada dirinya sendiri. Kenapa gue harus tahu?
Perasaan canggung ini mungkin hanya dia saja yang merasakan, karena Rion justru terlihat begitu santai. Dia bersenandung kecil sambil memandangi sekitarnya. Sesekali, dia menoleh ke Ayin, menahan tawa yang masih tersisa.
"Rion, berhenti ngetawain aku!"
"Muka kamu masih lucu soalnya."
Nagara sekalian nyikat toilet kali ya? Lama banget, Tuhan?
"Rion." Panggilnya. Rion menghadapnya, mengganti posisi dengan menyandar kesamping. Tubuhnya bagian kanannya dia tumpu pada tembok, tangannya bersedekap, dia tampak santai.
"Aku mau tanya sesuatu."
"Tanya apa?"
"Aku sebenarnya nggak mau tau. Tapi, aku penasaran. Sedikit. Dikit... banget."
"Boleh aku duluan nggak? Soalnya penasaranku lebih banyak."
Ayin mengangguk ragu.
"Tadi kamu sama Nagara ngintipin aku, ya?"
"Mana ada?!" Dia dengan cepat berkilah, sambil merutuki Nagara yang tidak kunjung keluar.
Rion mengangguk dengan raut wajah sok serius. "Terus ngintip siapa?"
"Nggak ada yang ngintip-ngitip!"
"Oke, jangan marah."
"Aku nggak marah!"
"Oke. Sekarang kamu tanya penasaran kamu yang sedikit banget itu."
Ayin terdiam cukup lama. Bibirnya seakan dilem, rapat tidak mau keluar sekata pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlite Sunshine
Teen FictionHalo, panggil gue Nana aja biar akrab. Ini cerita tentang Ayin. Gue suka dia, tapi dia nggak suka gue. Sad but gwencanna.... Trope cerita doi klise banget, tapi jujur gue yang lihat kasihan, sih. "Denial? Astaga.... Gue sama Rion itu udah kayak sau...