O7

81 13 10
                                    

ㅡ🍊ㅡ

Gael menatap layar ponselnya yang kini gelap, jari-jarinya terasa lemas seolah kehilangan tenaga setelah panggilan berakhir. Perlahan, ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, matanya kosong menatap langit-langit kamar. Di kepalanya, percakapan yang baru saja terjadi terus berputar tanpa henti, seperti kaset yang diputar ulang, membuat hatinya semakin berat.

Kata-kata Ayah Eric tadi kembali terngiang, jelas dan tegas. "Lusa saya ada meeting dekat kampus Eric. Bisa bertemu?"

Tanpa pikir panjang, Gael menyetujuinya. Menolak? Itu bukan pilihan. Tentu saja dia tidak bisa menolak. Dalam sepersekian detik, sebelum sempat mempertimbangkan apa pun, jawabannya sudah meluncur keluar. Dia hanya bisa berharap keputusan yang diambil tadi tidak akan menjadi awal dari sesuatu yang buruk.

"Nanti saya beritahu tempatnya. Eric jangan sampai tahu, okay?"

Gael menghela napas panjang, mencoba meredakan kegelisahan yang menjalari dirinya. Tapi perasaan cemas itu tak juga hilang, malah semakin kuat mengikat pikirannya, menciptakan berbagai kemungkinan yang tak menyenangkan. Pikiran Gael berlarian tanpa arah.

Apa yang akan terjadi selanjutnya? Kenapa papi Eric mengajaknya bertemu?

Apakah ini seperti yang sering ia lihat di film-film, di mana orang tua kekasih datang dengan tatapan dingin, menolaknya mentah-mentah? Apakah papi Eric akan menyerahkan amplop tebal berisi uang, seolah hidupnya bisa dibeli begitu saja?

Gael menelan ludah, mencoba menepis pikiran-pikiran buruk itu, tetapi mereka terus kembali, seperti gelombang yang tak henti-hentinya menghantam pantai. "Tapi gue sama Ko Eric gak ada hubungan, gue gak perlu takut. Aman. Aman." Gumam Gael. Ia menggelengkan kepala, berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya paranoia semata. Gael tak ingin berpikir lebih jauh.

Pikiran Gael buyar ketika suara pintu kamarnya di ketuk dari luar, suara lembut ibunya memanggilnya.

"Gael? Tidur?" Suara lembut ibunya terdengar, mengalir hangat di tengah kebisuan kamar.

Gael menghela napas panjang, mencoba mengembalikan kesadarannya dari tumpukan kekhawatiran yang menggulung dirinya. "Masuk aja, Ma," jawabnya, suaranya terdengar sedikit serak, lelah oleh pikiran yang tak berhenti berputar.

Pintu terbuka perlahan, dan ibunya melangkah masuk, membawa kehangatan yang selalu menyertainya. Gael menatap ibunya sejenak, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang sejak tadi menyiksa pikirannya, namun tatapan sang ibu seperti selalu mampu menembus segala dinding yang coba ia bangun.

Gael menatap ibunya yang kini duduk di tepi ranjang, elusan lembut di kepalanya seolah mengalirkan ketenangan yang ia butuhkan. Senyum teduh itu — satu-satunya hal yang selalu berhasil membuatnya merasa bahwa segalanya akan baik-baik saja, meski sejenak. Tapi di balik ketenangan itu, Gael tetap menyembunyikan kegelisahannya.

Ia hanya menggeleng, rasanya sulit mengungkapkan masalahnya yang bahkan belum tentu bisa ia jelaskan.

Ibu Gael mengangguk kecil, paham bahwa anaknya memang tidak mudah untuk terbuka tentang masalahnya. Dia mengerti, Gael hanya perlu dipancing sedikit untuk lebih terbuka. "Kemarin Mama diceritain sama kakak kalau kamu bawa pacar kamu nginep di sini, ya?" lanjutnya dengan lembut, mencoba memulai percakapan yang mungkin bisa membuat Gael merasa lebih nyaman.

Gael sedikit terkejut, tapi tak menampakkan reaksi berlebihan. Ia mengangguk pelan, menyadari bahwa keluarganya memang tahu tentang Eric. "Iya, Gael ajak nginep. Tapi bukan pacar, Ma." jawabnya singkat, suaranya nyaris tak terdengar.

Ibu Gael tersenyum lagi, kali ini dengan sedikit rasa penasaran yang lembut. "Bukan pacar atau on the way jadi pacarnya?" Perkataan Ibunya membuat pipi Gael memanas. "Maaa!" Rengeknya.

You and Me (FourthGemini)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang