Delapan

59 12 10
                                    

Jimin itu pencium yang ahli. Bagaimana dia dengan lembutnya menyentuh Haejin, membelai bibir sang gadis dengan bibirnya. Hingga ketika kedua kelembaban itu beradu, itu seperti sebuah permainan yang tidak ada satupun di antara keduanya yang ingin menghentikannya.

Sudah sangat lama bersama, mereka sudah sangat tahu apa yang ingin mereka peroleh dari diri masing-masing.

Sentuhan-sentuhan mana yang memicu hormon serta mengarah pada hal-hal yang jauh dan sangat jauh lebih menyenangkan. yang lebih menantang, yang memerlukan lebih banyak energi, membutuhkan lebih banyak sentuhan-hingga membuat Jimin lebih ingin melayang saat Haejin sebut namanya saat bersama menggapai puncak.

Namun, baru saja ciuman itu semakin merambah ke arah yang lebih jauh. Mendadak Jimin menghentikan dirinya dan menjauhkan jarak, kedua labium basah itu begitu terlihat sensual. Kini Haejin melihat ekspresi Jimin yang kikuk.

"Kenapa?" tanya Haejin bingung. Tak biasanya Jimin akan berhenti di saat perasaan 'ingin' itu tengah terjalin. Jimin bahkan berhenti mengusap kulit di dalam pakaiannya. Pria itu menatapnya sebentar.

"Apa kau dengar sesuatu?"

***

Taekim menarikku ke samping rumah Jimin sembari terus membekap mulutku. Dia berada tepat di depanku ketika menyandarkan punggungku pada dinding. Di tengah keremangan, dia mengintip Jimin dan Haejin yang masih berciuman mesra. Wajahnya seketika terlihat begitu panik.

"Hey!" pekikku sambil menarik wajahnya agar menghadap padaku supaya dia tidak mengintip. Dia membeliak, beberapa saat mengerjap. "Jangan lihat orang yang sedang pacaran!"

"Tapi itu...." Dia mencoba mengintip lagi, tapi aku mencegahnya. Taekim tampak ingin menangis dan suaranya pun bergetar. "J-jimin...."

"Kenapa kau di sini?" tanyaku.

"Karena aku ingin menemui Jimin."

"Apa?!"

"Sssst!"

"Aku ingin menemui Jimin." ulangnya lagi.

"Ada urusan apa kau menemui Jimin?"

"Haruskah aku mengatakan semuanya padamu?" tanyanya setengah menyalak.

Aku balas membeliak padanya. "Katakan saja apa susahnya, sih? Kau mengejutkanku!"

"Aku ada urusan dengannya."

"Oh begitu?" tanyaku dengan tampang curiga.

Taekim meringis, "Apa masalahmu? Kau tampak aneh."

Aku mendesis. Kehilangan kata-kata selagi napas kami beradu. Gestur tubuh Taekim menunjukkan bahwa dia merasakan apa yang aku rasakan. Kami merasakan hal yang sama. Walau, sungguh, hal itu justru membuatku ingin tertawa.

Ketika memikirkan betapa konyolnya kami, aku berupaya menahan senyumku walau gagal.

"Taekim," Aku tertawa pelan. "Kita seperti pecundang, kau tahu? Dia sudah menyakiti dua orang sekaligus, aku dan dirimu. Menurutmu apa kita pantas mendapatkannya?"

"Apa maksudmu?"

"Apa kau tidak merasa tersakiti?"

Taekim menghela napas. "Apa yang bisa kulakukan? Aku tidak bisa melakukan apa-apa."

"Kau bisa."

"Oh?" Suara Jimin terdengar dan kami sama-sama menoleh pada sosok Jimin beserta Haejin yang menatap kami dengan tatapan yang aneh.

Jimin menatap aku dan Taekim bergantian, seakan kami berdua adalah alien yang tersesat di rumahnya.

"Naya?" Dia melirik Taekim sekilas. "Apa yang kalian lakukan?"

LOVE SCENARIO [lengkap] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang