4. AWAL TAK TERDUGA

22 4 0
                                    

---

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

---

Senin pagi itu terasa lebih melelahkan dari biasanya bagi Aruna. Setelah seminggu berusaha menyeimbangkan pekerjaannya dengan perasaan yang masih belum pulih sepenuhnya, ia merasa benar-benar kehabisan energi. Namun, seperti biasa, ia memaksakan diri untuk tetap tersenyum dan menjalani hari.

Kantor mulai ramai saat Aruna tiba, dan ia langsung menuju mejanya, bersiap untuk menyelesaikan beberapa laporan yang tertunda. Namun, sebelum ia sempat mulai bekerja, manajernya, Bu Desi, datang menghampiri.

"Aruna, sebentar. Saya mau ngenalin karyawan baru," kata Bu Desi dengan senyum ramah. Aruna menoleh dan melihat seorang pria muda berdiri di belakang manajernya, mengenakan kemeja rapi dan celana panjang hitam. Wajahnya terlihat cukup familiar, tapi Aruna tidak segera menyadari siapa dia.

"Ini Devano, dia bakal jadi partner kamu di sini. Dia satu divisi sama kamu." lanjut Bu Desi sambil memperkenalkan mereka.

Aruna mengulurkan tangan untuk menyapa, namun saat pandangan mereka bertemu, jantungnya seakan berhenti. Ia mengenali wajah itu dengan segera. Devano, sahabat lama Eksa. Sudah lama ia tidak bertemu dengan Devano, tapi tak mungkin melupakan wajah yang sering ia lihat ketika dulu masih sering bersama Eksa.

"Devano?" Aruna tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Devano tersenyum kecil, seolah sedikit canggung. "Hai, Aruna. Lama gak ketemu."

Bu Desi menatap mereka berdua, bingung dengan suasana yang mendadak aneh. "Oh, kalian sudah saling kenal?"

Aruna hanya mengangguk pelan. "Iya, sedikit."

Setelah perkenalan singkat itu, Bu Desi meninggalkan mereka untuk melanjutkan pekerjaan masing-masing. Aruna duduk kembali di mejanya, namun pikirannya tak bisa fokus. Bagaimana mungkin Devano bisa muncul di sini, di kantornya, saat ia sedang berusaha keras melupakan masa lalunya dengan Eksa?

Devano, yang dulu sering bersama Eksa, mungkin tahu lebih banyak tentang hubungan mereka daripada siapa pun. Dan sekarang dia berada di sini, bekerja di tempat yang sama dengan Aruna.

Beberapa jam kemudian, saat jam makan siang tiba, Devano mendekati meja Aruna.

"Aruna, boleh ngobrol sebentar?" tanyanya dengan suara yang terdengar lebih tenang daripada sebelumnya.

Aruna merasa sulit untuk menolak, meskipun dalam hatinya ia enggan berurusan dengan siapa pun yang berhubungan dengan Eksa. Mereka berjalan menuju rooftop kantor yang sepi, tempat yang jarang dikunjungi orang untuk beristirahat. Kebanyakan karyawan lebih memilih untuk makan di kantin atau warung pinggir jalan di depan gedung kantor.

 Kebanyakan karyawan lebih memilih untuk makan di kantin atau warung pinggir jalan di depan gedung kantor

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gue gak nyangka lo kerja di sini," kata Devano, membuka percakapan.

"Gue juga gak nyangka lo bakal jadi karyawan baru di sini," jawab Aruna dengan sedikit ketus.

Devano tersenyum tipis, seolah mengerti perasaan Aruna. "Gue ngerti kalau ini mungkin canggung buat lo. Tapi gue harap kita bisa tetap profesional di sini."

Aruna menghela napas. "Iya, kita bisa bersikap profesional. Tapi gue gak bisa pura-pura gak kenal lo, Dev. Lo sahabat Eksa."

Devano menatapnya serius. "Gue tau, Run. Dan gue tau soal apa yang terjadi antara lo dan Eksa. Gue gak akan pura-pura gak tau."

Pernyataan itu membuat dada Aruna terasa sesak lagi. Seolah luka lamanya kembali terbuka hanya dengan mendengar nama Eksa disebut. "Kalau lo tau, kenapa lo diem aja?"

Devano terlihat ragu sejenak sebelum menjawab. "Karena itu bukan urusan gue waktu itu. Tapi sekarang, gue mau bantu lo kalau lo mau. Gue gak setuju sama cara Eksa nanganin semuanya."

Aruna menatap Devano dengan pandangan penuh rasa curiga. "Bantu? Apa yang lo bisa lakuin?"

Devano menarik napas panjang, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat. "Gue tau Eksa udah nyakitin lo, dan gue gak akan belain dia. Gue cuma pengen lo tau kalau gue ada di sini kalau lo butuh temen."

Aruna terdiam, tak tahu harus merespon bagaimana. Di satu sisi, Devano adalah sahabat Eksa, seseorang yang seharusnya mendukung Eksa, bukan dirinya. Namun di sisi lain, ada sesuatu dalam nada suara Devano yang membuat Aruna merasa dia tulus.

"Gue gak tau, Dev. Gue masih berusaha buat nyembuhin diri gue sendiri dari semua ini. Gue gak yakin kalau gue siap buat ngomongin soal Eksa."

Devano mengangguk pelan, memahami. "Gue gak maksa lo buat ngomong sekarang. Gue cuma pengen lo tau kalau gue ada di sini. Gue bisa dengerin lo kapan pun lo siap."

Untuk pertama kalinya dalam percakapan itu, Aruna merasa sedikit lega. Meski masih ada rasa canggung dan sakit yang belum sepenuhnya hilang, Devano tampaknya benar-benar tulus dalam niatnya.

"Gue hargain itu, Dev. Tapi untuk sekarang, gue pengen fokus sama kerjaan gue. Gue gak mau urusan pribadi gue ngaruh ke kerjaan."

"Fair enough," jawab Devano dengan senyum kecil. "Kita bisa mulai dari situ. Dan kalau lo mau ngobrol kapan pun, gue di sini."

Aruna mengangguk pelan, meski dalam hatinya masih ada rasa ragu. Ini semua terlalu rumit. Tetapi mungkin, hanya mungkin, kehadiran Devano bisa membantunya menemukan sudut pandang baru dalam menghadapi luka lamanya.

---

🪐 to be continued 🪐

next or udah???
follow ig author @ __aboutzaa
vote!! ga vota gamau up!!!

10 komen?

ANAGAPESISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang