8. A Thread of the Present

263 53 13
                                    

Setelah beberapa saat berbincang santai, Mazga mulai menceritakan tentang keluarganya. “Keluargaku sangat tradisional,” katanya dengan nada penuh rasa syukur. “Ayah Ibu pengen aku segera menikah. Mereka percaya bahwa itu adalah jalan terbaik untuk membangun masa depan.”

Kiran mendengarkan dengan penuh perhatian, tetapi hatinya bergetar mendengar kata "menikah." Pikiran itu membangkitkan keraguan yang telah lama terpendam. Dia membayangkan betapa sulitnya dia diterima di dalam keluarga Mazga. Dengan konflik yang tak kunjung usai, terasa seperti penghalang yang tak teratasi. Dalam pandangannya, keluarga Mazga adalah kebahagiaan yang tak terjangkau.

Sementara Mazga terus berbagi tentang kebiasaan keluarganya yang harmonis, Kiran semakin merasa tertekan. Keluarga Mazga memiliki tradisi dan harapan yang jelas, sementara dia merasa hanya membawa beban dari masa lalunya. “Aku harap mereka bisa memahami bahwa aku bukan tipe orang yang mereka inginkan,” pikir Kiran, merasakan cemas menyelimuti dirinya.

“Jadi, kalau kamu gimana? Kamu punya rencana?” tanya Mazga, mengalihkan perhatiannya kembali ke Kiran.

Kiran hanya bisa tersenyum lemah. “Aku belum mikirin soal itu, Mas. Mungkin, aku masih terlalu fokus pada karier.”

It's okay, everything will come at the right time.” kata Mazga menenangkan, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. “Ayo tidur?”

Kiran tersenyum, memeluk tubuh hangat Mazga yang mulai terlelap di dalam kamar Kiran.

Kiran terpaku pada tenangnya wajah Mazga saat terlelap, lelaki itu memiliki segalanya yang tak ia punya.  Kiran mencoba mengenyahkan segala tentang masa lalu yang membayanginya, meyakinkan dirinya bahwa Mazga adalah pilihan yang tepat.

Akan tetapi... apakah Kiran juga pilihan yang tepat untuk Mazga?

---

Dalam usahanya untuk fokus pada proyek-proyek desain yang ada, Kiran merasakan beban emosional yang semakin berat. Dia mulai mengabaikan kesehatannya, melewatkan waktu tidur dan sering merasa cemas.

“Mbak Kiran pucat banget? Makan siang dulu yuk Mbak?” ajak salah seorang anak magang di kantornya, anak didiknya.

Kiran tersenyum tipis, mengangguk. “Ya udah, ayo!”

Begitu langkahnya semakin dekat menuju kantin, Kiran merasa isi bumi bergoyang, berusaha mencari pegangan---tubuh Kiran akhirnya ambruk.

Teriakan orang-orang menggema di telinganya, namun Kiran tak bergeming---gadis itu tak sadarkan diri.

Dan entah sejak kapan aroma obat-obatan bersarang pada hidungnya, Kiran tak tau. Yang jelas, kepalanya sakit sekali, sangat sakit seperti dipukuli Titan. Gila, gadis itu bahkan tidak pernah menonton anime.

“Kiran? Kamu udah sadar? Dokter bilang kamu kena DBD.”

Kiran memandang Mazga yang tampak khawatir berangsur tersenyum melihat dirinya. Setiap kali dia melihat Mazga tersenyum, ada rasa bersalah yang menyelimuti dirinya. Mazga semakin intens berada di sisinya, berharap Kiran bisa membuka diri. Setiap kali Mazga menatapnya dengan harapan, Kiran merasa seolah ada harapan yang ditujukan kepadanya, dan dia tahu harapan itu bisa berakhir menyakitkan.

“Aku pengen kamu tau kalau aku di sini buat kamu, Ki,” kata Mazga pelan, “Kapan pun kamu siap, aku siap mendengarkan.”

Namun, pernyataan Mazga justru semakin membuat Kiran merasa tertekan. “Gimana kalau aku gak bisa memenuhi harapanmu, Mas? Gimana kalau kamu akhirnya tau semua luka batin yang aku bawa, terus memutuskan untuk pergi?” Kiran merasa ketakutan itu semakin dalam, membelenggu hatinya dalam keraguan.

✅Beyond The Stars | Soohyun JiwonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang