Kiran menarik napas panjang sebelum melirik ke arah Mazga yang duduk di sebelahnya. Hari itu, mereka berdua berada di dalam mobil, menuju tempat yang Kiran sendiri ragu untuk datangi.
Mazga mengernyit, “Kamu serius mau ketemu mamamu di sini, Ki?”
Kiran hanya mengangguk. "Aku gak bisa terus lari dari kenyataan, Mas. Kamu juga harus tau."
Sesampainya di tempat tujuan, Mazga mematung di depan pintu bangunan dengan papan nama besar bertuliskan Rumah Sakit Jiwa. “Kenapa kita di sini?” tanyanya pelan, rasa aneh merayapi tubuhnya.
Kiran tidak menjawab. Ia langsung menuju resepsionis dan mendaftar untuk mengunjungi ibunya. Setelah prosedur selesai, mereka berjalan menuju sebuah ruangan dengan jeruji besi di jendela.
Kiran berhenti, berdiri tegak di depan pintu yang memisahkan mereka dari seorang perempuan yang dulu menjadi sosok terpenting dalam hidupnya.
Kiran berusaha tersenyum, namun getaran di bibirnya tak dapat ia sembunyikan. “Mama,” panggilnya pelan, suaranya penuh luka.
Tidak ada jawaban di awal. Hanya keheningan yang menyelimuti, sampai akhirnya terdengar suara langkah pelan mendekat ke jendela. Seorang wanita tua muncul dari balik jeruji itu. Wajahnya pucat, dengan mata kosong yang menatap Kiran tanpa pengenalan.
“Siapa kamu?” tanya ibunya, suaranya parau dan asing. Tatapannya menyusuri Kiran, seolah mencoba mengingat sesuatu yang hilang dalam labirin pikirannya.
Kiran menahan air matanya. “Mama... ini aku, Kiran.”
Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan sebelum ada percikan di mata ibunya. “Kiran?” bisiknya pelan. “Kamu... anakku?”
Kiran mengangguk, air mata akhirnya mengalir. “Iya, Ma. Ini aku.”
Wajah ibunya melembut sejenak, namun ekspresi itu segera berubah ketika matanya jatuh pada Mazga yang berdiri tak jauh dari Kiran. Wajahnya kembali menegang. “Siapa dia? Apa dia pacarmu?”
Kiran menoleh cepat ke arah Mazga yang hanya bisa membisu.
“Mama...” Kiran mencoba menenangkan, tapi ibunya tidak mendengarkan.
“Jangan dekat-dekat sama laki-laki!” teriak ibunya. “Mereka semua sama aja, bajingan! Mereka cuma mau menyakiti kamu, Kiran!”
Kiran terpaku, tidak tahu harus berkata apa. Mazga menelan ludah, tidak berani bergerak sedikit pun. Ia tahu ibunya Kiran sedang tidak dalam keadaan normal, tetapi serangan verbal itu tetap mengguncangnya.
Namun tiba-tiba, ekspresi ibunya berubah lagi. Mata yang tadinya dipenuhi ketakutan sekarang terisi air mata penyesalan. “Maafkan Mama, Kiran... Maafkan Mama. Mama gak mau kamu terluka,” isaknya, tangannya gemetar di balik jeruji.
Kiran menunduk, menangis dalam diam, menyaksikan ibunya terisak tanpa bisa memeluknya. Di dalam jeruji besi itu, mamanya menjadi seseorang yang rapuh dan terpenjara oleh pikirannya sendiri.
Beberapa saat kemudian, ibunya terdiam. Tubuhnya melemah dan dia perlahan berjalan ke tempat tidurnya, terbaring, memunggungi jendela. Kiran menyeka air matanya, berusaha mengumpulkan kekuatan.
“Kita pergi, Mas,” bisiknya pada Mazga, tanpa menoleh lagi ke arah ibunya.
Mazga menatap Kiran dengan wajah penuh kebingungan, namun ia mengikuti langkah Kiran yang semakin menjauh. Pikiran Mazga kacau. Melihat kondisi ibunya Kiran membuatnya mengerti kenapa Kiran begitu takut berkomitmen. Kenapa Kiran selalu menutup diri.
Di dalam mobil, perjalanan pulang terasa sangat hening, sampai akhirnya Mazga tak tahan lagi dan bertanya, “Aku satu-satunya yang tau kondisi mamamu, Ki?”
KAMU SEDANG MEMBACA
✅Beyond The Stars | Soohyun Jiwon
Fiction généraleApakah ungkapan putus baik-baik hanya sebuah alasan untuk selamanya mundur? Alur maju mundur ©sanraf-world, 15 Juli 2024 published on: 21 Juli 2024 finished on: 03 November 2024 cover template by vaninaarf studio