Pantai sepi menjelang senja. Langit perlahan berubah jingga, sementara ombak kecil menyapu bibir pantai, meninggalkan jejak-jejak lembut di pasir. Hanya ada Mazga dan Kiran, berjalan berdampingan sambil bergandengan tangan, menikmati hembusan angin pantai yang lembut.
Kiran tersenyum kecil, merasa heran dengan ketenangan pantai sore itu. Tidak ada orang lain, seolah pantai itu hanya milik mereka berdua.
Kiran menatap sekeliling, penasaran, "Mas, kamu bener-bener tahu tempat yang sepi, ya. Tumben banget gak ada orang di sini."
Mazga tertawa ringan, "Biar kita punya tempat sendiri, kan?"
Mereka terus berjalan, berbicara tentang hal-hal kecil, sambil membiarkan ombak sesekali membasahi kaki mereka. Kiran merasa nyaman, tenang. Namun tiba-tiba, Mazga berhenti dan membuat wajah serius.
Mazga mengusap tengkuknya, berpura-pura cemas, "Aduh, Ki, aku… aku kebelet pipis."
Kiran tertawa, “Aduh, udah gede masih aja begitu. Yaudah, sana sana cepet, aku tunggu di sini."
Mazga tersenyum singkat, lalu bergegas pergi dengan langkah cepat ke arah pepohonan di belakang mereka. Kiran hanya bisa menggelengkan kepala sambil menertawakan tingkah Mazga. Dia pun berdiri di tepi pantai, mengamati ombak yang semakin lembut, menunggu kembalinya Mazga.
Setelah beberapa menit menunggu, Kiran mulai merasa heran. Ia memutar badan, hendak mencari Mazga, tetapi langkahnya terhenti saat melihat Mazga datang kembali dengan langkah mantap.
Namun kali ini, Mazga berjalan lebih pelan, lalu berlutut di depan Kiran dengan satu lutut di pasir. Kiran terkejut melihat Mazga mengeluarkan sebuah kotak cincin kecil berkilauan, yang membuat dadanya langsung berdebar kencang.
Mazga menatap Kiran dengan senyum penuh keyakinan, “Kamu harus nikah sama aku, atau aku culik paksa, Ki."
Kiran tidak bisa menahan tawa dan tangis yang bercampur menjadi satu. Dia tertawa karena kata-kata Mazga yang sederhana namun mengena, tapi juga menangis karena begitu tersentuh oleh ketulusan dan keseriusan Mazga.
Kiran tersenyum sambil menangis, suaranya bergetar, "Mas… kamu serius?"
Mazga mengangguk dengan senyum lebar, "Serius banget, Ki. Aku gak main-main. Aku mau kita bareng-bareng sampai kapan pun."
Saat Kiran masih berusaha mencerna momen itu, tiba-tiba ia mendengar suara lain di belakangnya. Ia berbalik dan mendapati orang tua Mazga berdiri tidak jauh dari mereka, tersenyum penuh haru. Dan di samping mereka, Mizuelle muncul dengan buket bunga di tangan, melangkah pelan menuju Kiran dan Mazga.
Mizuelle tersenyum malu-malu, memberikan buket kepada Kiran, "Ini buat mbak Kiran."
Kiran tercengang, menatap semua orang yang hadir di hadapannya. Air matanya semakin deras, tidak menyangka bahwa Mazga telah menyiapkan semuanya begitu sempurna dan melibatkan keluarganya. Ini bukan hanya tentang lamaran, tapi tentang masa depan mereka bersama.
Mazga mengambil tangan Kiran dan menatapnya dalam-dalam, "Ki, kamu tau gimana hidup aku tanpa kamu, kan? Gak ada kamu tuh kosong banget. Jadi, aku mohon, izinin aku jadi bagian dari hidupmu."
Kiran mengangguk sambil tersenyum, lalu membiarkan Mazga memasangkan cincin di jarinya. Ia masih terisak, tetapi senyum kebahagiaannya begitu nyata.
Kiran berbisik sambil menatap Mazga, "Iya, Mas. Aku mau jadi teman hidup kamu."
Orang tua Mazga dan Mizuelle ikut bertepuk tangan sambil tersenyum bahagia. Dengan sinar matahari yang mulai tenggelam di cakrawala, Mazga menarik Kiran ke dalam pelukannya, memeluknya erat seolah tak ingin lagi berpisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
✅Beyond The Stars | Soohyun Jiwon
General FictionApakah ungkapan putus baik-baik hanya sebuah alasan untuk selamanya mundur? Alur maju mundur ©sanraf-world, 15 Juli 2024 published on: 21 Juli 2024 finished on: 03 November 2024 cover template by vaninaarf studio