5. Menikah Dengan Saya?

369 100 44
                                    


Happy baca 💚
Sorry for typo 🍓
.
.
.



"Dua hari ya, Gis, kalau sampai jangka waktu itu lo enggak bisa balikin duit kita, terpaksa gue bakal bikin laporan."

Gistara hanya bisa diam menunduk tanpa berniat menjawab kalimat tendensi yang dilontarkan Eren - salah satu temannya yang menjadi korban jual beli tas branded fiktif. Hanya embusan napas yang beberapa kali terlepas dari rongga mulut Gistara menampani semua amarah customer sekaligus temannya yang merasa ditipu mentah-mentah.

Semua diksi di dalam kepala seakan lenyap begitu saja. Nyeseknya masih terasa sampai sekarang. Padahal Eren dan beberapa korban lain juga tahu, kalau bukan Gistara yang nilep uang itu.

"Iya Gis, sorry, kita bukannya enggak berempati, tapi kita udah habis kesabaran. Gue butuh duit gue balik secepatnya." Temannya satu lagi ikut menimpali, menambah gusar batin Gistara. Rasa nyesek bertambah ketika menyadari saldo tabungannya saat ini nol besar. Udara di sekitar Gistara seperti menyusut, sampai membuatnya susah bernapas.

"G-gue usahain ya, please kasih tambahan waktu. Dua hari itu rasanya impossible. Duitnya bukan sejuta dua juta, gue harus nyari kemana segitu banyaknya?" Nada suara Gistara melemah..

"Bukan urusan kita, Gistara, itu tanggungjawab Lo!"

"Iya, kita enggak mau tahu, lusa duit kita sudah harus ada. Kalau enggak, ya lo tau sendiri konsekuensinya!"

Dua temannya melenggang pergi usai berkata-kata. Akhir-akhir ini kediaman Gistara kerapkali didatangi segerombolan yang mirip penagih utang. Tidak ada ketenangan, setiap hari rasa was-was itu meruangi perasaan Gistara. Tidurnya tak lagi nyenyak, pola makannya berantakan. Masalah ini benar-benar menyita 'kewarasan' Gistara.

Beberapa saat setelah dua temannya pergi, Naka datang menemui Tara. Lelaki itu masih mengenakan setelan kantoran lengkap ketika menyambangi ruang tengah tempat Gistara sedang menatap televisi 51 inci dengan pandangan mengawang di udara.

"Bengong terus, kesambet ntar!" Adalah teguran Naka. Lelaki itu berdiri tak jauh dari sofa tempat Tara duduk. Naka berjejak mengantongi kedua tangannya pada saku celana sembari matanya menatap sang adik lekat.

"Gimana, Gis? Ada perkembangan apa?" Pertanyaan sang kakak dijawab Gistara dengan gerakan bahunya yang terangkat bersamaan.

Mata Gistara mengembun. Lapisan kaca yang membayang di kedua retinanya hampir retak serta menyembur keluar berupa air mata. Sekuat tenaga Gistara tahan.

"Opsi yang Mas kasih kamu belum mau memutuskan, Gis?"

Gelengan Gistara. Dia paham opsi apa yang dimaksud Naka. Sampai detik ini Gistara masih menganggap ide oleh kakaknya itu adalah hal gila yang harus dihindari.

"Kalau gitu terima saja tawaran papamu, ikut bantu-bantu di kantornya sana." Naka kembali membuat statement.

Gistara mereply gelengan kepalanya, "Emoh. Mas Naka tahu, kan, gue paling anti disuruh kerja kantoran."

Helaan napas menguar dari mulut Naka.
"Ilmu-mu mubazir, Gis. Sudah sekolah capek-capek, malah enggak dipraktikkan."

Gistara hanya menanggapi dengan kedutan alis. Baginya tidak ada ilmu yang mubazir. Dia akan membutuhkan nanti untuk mendidik anak-anaknya setelah menikah dan berumah tangga.

"Mbuhlah Mas, wes enggak usah nolongin gue. Biarin aja sekalian mati dipenjara."

"Lambemu, Gis!"

"Mas Naka ya gitu, ngenalin temennya enggak ada yang benar. Rata-rata udah di atas tiga puluh tahun, udah pada sold out semua."

Naka mendekat dan duduk tepat di sisi Gistara. Tangannya jail menarik ujung pasmina Gistara.

BamboozleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang