tiga puluh dua

1.1K 47 1
                                        


Aska menyeringai—tersenyum sinis dari lantai dua rumah mewahnya. Diatas balkon, dapat ia lihat dengan jelas sasaran empuk yang ditunggunya sedari pagi. Wanita itu mengenakan gaun putih indah selutut, berwarna putih polos. Rambutnya tertiup angin dengan kencang—memperkuat aksen indahnya. Wajah itu masih sama menawannya, hatinya tiba- tiba bergetar tanda tak sudah tak lagi bersabar.

Degh.

Berhasil, wanita itu masuk keperangkapnya.

Allesia kini bukan menghindari tapi mendatangi kehancurannya—dapat dengan jelas dirinya lihat gadis itu yang sudah bersiap memasuki areanya. Ia gerakkan langkah tercepat untuk menemui wanita itu.

Dan disinilah tatapan mereka beradu. Sungguh rasanya aska ingin memeluk wanita itu kuat-kuat, rasa rindunya sudah tidak tertahan. Tapi, sekali lagi. Ini belum saatnya—yang dia berikan malah wajah tampan namun dingin itu. Kedua tangannya ia masukkan ke saku. Bersikap seformal mungkin.

Arah matanya menatap wanita itu—sangat dalam. "Silahkan duduk."

"Aku tak ingin berlama- lama disini."

Alis laki- laki itu menyengit, tanda ingin bertanya. "Ada apa ?" Tanyanya dingin.

Gadis itu terlihat meremat kedua tangannya gugup—bisa aska lihat kedua tangan itu bergetar cukup pelan. "Ada yang ingin aku bicarakan, kakak."

Sial, aska benci sebutan itu. Meski dia juga merindukan sebutan itu, namun hati kecilnya tetap tidak bisa menerima allesia sebagai adiknya. Wanita itu miliknya.

"Bukankah kau sudah menolak kembali padaku ?"

"Aku tidak kesini untuk kembali padamu." Jawab gadis itu. "Perusahaan diaz sedang bermasalah, apa itu adalah perbuatanmu ?"

Aska tau—dia tau adiknya menemuinya untuk apa. Dari awal sejak gadis ini menghubunginya dia tau allesia akan membahas ini, bukan untuk kembali padanya. Namun, dia hanya ingin untuk memancing wanita itu saja.

"Itu alasanmu menemuiku." Nada aska meremehkan. "Kalau begitu angkat kakimu dari sini, meski itu perbuatanku—kau tau tidak ada bajingan yang mengakui perbuatannya bukan ?"

"Hentikan itu!"

"Punya hak apa kau mengaturku ?" Langkah kaki aska mendekati gadis itu—mencengkaram kedua lengannya dengan kuat. "Kau bukan adikku, bukan juga wanitaku. Menghancurkan siapapun itu hak milikku, manusia berkuasa untuk menghancurkan. Kalian membuatku hancur, bagaimana kalian bisa hidup semudah itu."

Allesia memandangnya—matanya siap digenangi dengan air mata. Ia sudah bersiap untuk melawan aska, bahkan menghadapinya secara langsung tapi tetap saja. Hatinya seakan hancur, tak kuat memandangi laki-laki itu berlama-lama.

"Kau memberikan neraka untuk seseorang. Bagaimana kau bisa berfikir orang itu akan mau hidup denganmu, kakak." Gadis itu sedikit menyeka sudut matanya. "Kau hanya perduli pada dirimu sendiri—kau menyakiti orang-orang yang bahkan tidak bersalah. Bahkan untuk egomu kau memperkosa adikmu sendiri, apa kau pikir kehidupanku tidak sulit sepertimu, kakak."

Aska menatapnya sangat dingin. "Hentikan omong kosongmu, sialan."

"Apa ucapanku salah ?"

Aska terkekeh sinis—tangannya bergerak untuk mengelus wajah itu dengan pelan. "Kau tau—obsesi bisa merubah seseorang jadi seekor iblis. Mereka yang terobsesi lebih gila dari sekedar jatuh cinta. Bahkan untuk itu dia akan mempertaruhkan semuanya. Meski wanita itu tidak mau bersamanya, dia akan buat mereka terikat dengan cara apapun."

Allesia masih memandangnya hampa, aska lanjut mengelus pipi itu dengan kasih sayang. "Mereka sanggup—menghancurkan siapapun yang menghalangi jalannya untuk mendapatkan kemauannya. Jadi hal yang baru kau terima dengannya dihari ini itu belum seberapa. Jika dia masih menginginkanmu—dia harus sanggup menyerahkan nyawanya."

Sorry Lia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang