15

72 4 0
                                    

Wanita itu mengerjapkan kedua matanya setelah sekian lama tidak sadarkan diri. Fahad yang baru selesai minum, menghampiri kembali mantan istrinya yang sudah sadar. Ia membawa segelas air dari belakang dan memberikannya kepada ibu dari anak-anaknya.

"Syukurlah kamu sudah sadar. Minumlah dulu."

Astri yang melihatnya segera mengambil air dari gelas yang digenggam Fahad. " Terimakasih, Mas. Apa kamu melihat ponsel milikku?"

"Ponselmu telah rusak, akibat terjatuh saat kamu pingsan tadi. Pakai saja milikku saat ini...ambillah." Jelas Fahad lalu memberikan ponsel miliknya.

Astrid yang menerimanya merasa sedih, tidak tahu apa yang harus Ia lakukan. Seketika air matanya jatuh membasahi kedua pipinya. 

"Apa yang telah terjadi!. Dan apa ini ada hubungannya denganmu saat kamu pingsan?"

Astrid masih terisak dan tidak menjawab pertanyaan dari mantan suaminya. Ia meremas ponsel miliknya begitu kuat, yang membuat jari-jarinya memerah akibat ulahnya sendiri.

"Katakan Astrid. Apa yang telah terjadi sebenarnya, aku tidak butuh tangaisan darimu!" Protes Fahad begitu kesal.

"Halwa kecelakaan, dan saat ini dia sedang berada dirumah sakit. Dan aku juga baru tahu ketika dihubungi oleh seseorang yang tidak kukenal dari ponsel milik, putriku." Jawab Astrid menatap mantan suaminya.

Seketika jantung Fahad berdetak lebih cepat dari biasanya. Matanya membulat mendengar kalimat dari mantan istrinya itu dan Ia terpaku.  Astrid segera mengambil ponsel milik Fahad lalu menghubungi kembali nomor ponsel milik anak mereka. Setelah Ia mendapatkan informasi keberadaan putrinya, Ia segera beranjak dari tempat.

"Mas Fahad...Terima kasih atas ponselnya. Sekarang kamu cepat siap-siap juga. Kita harus pergi ke rumah sakit saat ini." Titah Astrid dan menyadarkan Fahad dari diamnya.

Fahad yang menyadari tersebut, segera bersiap-siap. Lalu mereka pergi meninggalkan kediaman milik Fahad dan pergi menggunakan angkutan umum.

***

Sudah dua jam Ia menunggu operasi itu berjalan. Matanya yang tengah fokus menatap jam tangan miliknyanya. Dan ketukan dari high heels miliknya menggema di lorong tersebut. Kini perhatiannya sepenuhnya beralih kepada dokter yang baru saja keluar.

"Dok, bagaimana kabar pasien?. Apakah operasinya berjalan lancar." Tanya perempuan itu begitu penasaran.

"Syukurlah semua berjalan dengan lancar. Tetapi kita hanya bisa berdoa, semoga semua baik-baik saja kedepannya. Tidak banyak yang bisa kami lakukan. Karena semua itu atas kehendak Tuhan bagaimanapun. Kita manusia hanya bisa berencana. Kalau begitu saya permisi." Ujar Dokter tersebut lalu meninggalkan perempuan itu sendirian.

Perempuan bergaun satin itu menganggukkan kepalanya. Ia menghela nafas kasar dan menghentakkan kakinya karena kecewa pada dirinya sendiri. Andai saja ia lebih berhati-hati dalam bersikap, ini semua pasti tidak akan terjadi!. Pikirnya.

"Jasmine... Kamu yang namanya Jasmine, bukan? Yang tadi saat ibu hubungi dari ponsel yang kamu gunakan tadi." Sahut Astrid memastikan dengan raut cemasnya.

Ia baru saja tiba bersama mantan suaminya. Dan tanpa sengaja ia melihat sosok perempuan bergaun satin seorang diri berada didepan ruangan. Jika tidak salah saat ia bertanya kepada resepsionis, ruangan operasi atas nama putrinya tepat berada di depan gadis cantik didekatnya ini.  Dan Astrid mengenali ciri-cirinya dikarenakan saat mereka berkomunikasi melalui ponsel tadi.

"A-ah, iya. Itu sa-saya yang bicara melalui ponsel tadi. Ibu siapa yah?" Jawab perempuan itu ragu menatap wanita paruh baya didepannya dengan mengernyitkan keningnya penasaran.

Jasmine, pelaku yang tanpa sengaja telah menabrak Halwa menggunakan mobilnya sendiri. Ia berharap semoga keluarga dan tunangannya tidak mengetahui apa yang telah dirinya lakukan. Jasmine tidak ingin dipenjara, karena sebenarnya ia juga tidak sengaja. Ia hanya sedih mengetahui fakta bahwa orang tua yang selama ini merawatnya bukanlah orang tua kandungnya. Apalagi mendengar kalimat yang dilayangkan tunangannya tentang status mereka, yang membuatnya terpaksa menerimanya.

"Saya ibu dari pasien yang sedang dirawat tadi. Apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan bagaimana bisa ponsel anak saya berada bersama kamu?" Astrid bertanya dengan nada lembut dan menampilkan raut sedihnya dihadapan Jasmine.

"Mafkan saya, bibi. To-tolong jangan penjarakan sa-saya. Saya tidak sengaja melakukannya. Saya ti-tidak tahu jika Putri bibi berada disana....tolong maafkan saya."

Air mata Jasmine akhirnya jatuh juga. Ia merasa takut dan bingung karena situasi yang terjadi. Jasmine menggenggam telapak tangan milik Astrid seraya memohon.

"Sudah tidak apa-apa. Semua sudah terjadi, bagaimanapun kita tidak tahu takdir yang akan terjadi hari ini dan esok." Astrid tersenyum tipis membalas genggaman Jasmine.

"Maafkan saya bibi. Andai saja saya lebih berhati-hati, mungkin ini tidak akan terjadi. Saya memang anak pembawa sial!" Ujar Jasmine penuh penyesalan.

Astrid menggelengkan kepalanya. Ia menangkupkan kedua pipi Jasmine, lalu memeluknya. "Jangan berkata seperti itu, nak. Sudah bibi katakan ini semua takdir. Apapun yang terjadi dalam hidup kita, sang Khalik mempunyai rencana yang lebih indah untuk setiap hamba-Nya. Memang terkadang kita tidak menyukai bahkan membenci takdir yang kita jalani. Tapi percayalah...Jika kita menerimanya dengan hati yang lapang, InsyaAllah semua akan indah pada waktunya."

Astrid melepaskan pelukannya dan menatap tepat pada manik hitam milik Jasmine. Ia menghapus air mata yang jatuh mengalir pada pipi milik Jasmine dengan ibu jarinya.

"Saya tidak tahu hatimu terbuat dari apa bibi. Bagaimana bisa ada orang begitu kuat seperti dirimu. Terima kasih...dan maaf untuk putrimu." Tukas Jasmine.

"Lebih baik kita sekarang ke ruang putriku di rawat. Apa kamu tidak ingin melihatnya?."

Astrid sengaja mengajak Jasmine untuk melihat kondisi Halwa yang telah dipindahkan ke ruang ICU. Langkah kaki mereka yang beriringan menuju ruangan tersebut. Astrid dengan perasaan lega dan sedih melihat kondisi putrinya. Begitu pula dengan Jasmine yang merasa bersalah dan takut.

"Alhamdulillah semua berjalan lancar, kita hanya bisa berdo'a semoga Halwa segera pulih dan sadar." 

Astrid tersenyum tipis melihat putrinya. Kini perhatiannya sepenuhnya menatap Jasmine yang menunduk. Tangannya menyentuh pundak Jasmine untuk menyadarkannya.

"Untuk biaya semua pengobatan dan rawat inap. Saya yang akan membayarnya, sekaligus tanda permintaan maaf atas semua yang telah terjadi." Ucap Jasmine menatap kembali wajah teduh wanita dihadapannya.

Astrid menganggukkan kepalanya mendengar penuturan kalimat yang dilayangkan oleh Jasmine. Kakinya melangkah mendekati sebuah kursi yang berada tepat disamping Putrinya. Jasmine yang melihanya meminta izin keluar sejenak dari ruangan tersebut.

"Dasar pembunuh. Kamu perempuan tidak tahu malu."

Jasmine yang baru saja keluar dari ruangan itu tersentak mendengar kalimat dari sosok didepannya. Ia diam membisu dan menegang. "Apa maksudmu?"

"Jangan pura-pura bodoh dan tidak tahu apa yang telah kamu lakukan." Ujar sosok itu kembali memojokkan Jasmine dengan ucapannya.

Hal itu membuat Jasmine merasa tertekan dan membuat tubuhnya bergetar. "Siapa kamu?" Tanya Jasmine penasaran.

















To be continued

Jangan lupa tinggalkan jejak☺❤



Sekuntum Mawar Merah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang