Satu Minggu semenjak terjadinya perselisihan antara Halwa dan ayahnya waktu lalu. Hubungan yang sebelumnya sudah membaik, kini renggang kembali diantara mereka berdua. Halwa yang seperti biasa melakukan rutinitasnya, begitu juga dengan Fahad yang sudah kembali dari rumah sakit karena kondisinya yang sudah membaik.
Pernikahannya sudah semakin mendekat, Halwa yang kini berada ditempatnya bekerja meminta izin untuk keluar dari pekerjaannya. Setelah semua urusan selesai, kini waktunya Halwa berpamitan kepada teman-temannya.
"Kenapa harus secepat ini, kita belum banyak menghabiskan waktu bersama." Ucap sosok gadis berkacamata memanyunkan bibirnya.
"Jangan khawatir. Kamu bisa bertemu denganku kapan saja Isabel." Ujar Halwa menenangkan temannya yang bersedih sambil mengelus punggungnya.
"Kamu harus berjanji untuk tidak melupakanku dan yang lainnya." Tutur Isabel melepaskan pelukan mereka dan mengusap air matanya yang jatuh.
"Janji. Jadi sekarang, jangan menangis lagi. Apa kamu tidak malu dilihat oleh yang lainnya." Goda Halwa dengan senyumannya, walau yang terlihat hanya mata yang melengkung seperti bulan sabit.
Isabel mendengus mendengar penuturan dari Halwa, yaitu rekan kerjanya sekarang ralat maksudnya "mantan" rekan kerja. Mereka yang disana melepas rindu sebelum berpisah. Kini saatnya Halwa pergi meninggalkan kenangan-kenangan yang tidak bisa Ia lupakan.
Sejenak langkah kakinya terhenti dan menoleh kebelakang melihat kembali teman-temannya yang masih menatapnya. Halwa melambaikan salam perpisahan diantara mereka. Kini langkahnya sudah menjauh, dari tempat Ia dulu menghabiskan sebagian waktunya disana.
"Allah, semoga saja yang terjadi dalam kehidupanku ini merupakan yang terbaik bagiku. Aku yakin bahwa rencana yang Engkau buat untuk setiap hamba-Mu, rencana yang paling indah." Gumam Halwa sambil mengayuh sepedanya.
Bangunan-bangunan kota menjadi saksi akan hidupnya di tempat Ia dilahirkan sampai saat ini. Saat fokusnya tengah mengayuh, tiba-tiba saja dari arah belakang sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrak dirinya. Seketika tubuh tak berdaya dan ringkih itu tergeletak tak sadarkan diri. Dengan darah yang mengalir membasahi pakaian dan jalan disekitarnya. Orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut menghampiri, tanpa berani menyentuh dan hanya menyaksikan saja karena takut.
Roda berputar dengan cepat dari brankar yang didorong oleh para staf medis. Kemudian disusul langkah kaki dari sosok perempuan bergaun satin di bawah lutut. Kini langkah kakinya terhenti setelah melihat korban yang Ia tabrak tadi. Jantungnya berpacu cepat sambil menatap kedua telapak tangannya yang gemetar.
"Tidak-tidak...Aku tidak bersalah. Itu hanya ketidak sengajaan, yah semua itu hanya salah paham." Ujar perempuan itu dengan nafas tercekat.
"Maaf, apakah anda keluarga pasien?. Saat ini pasien dalam keadaan kritis dan harus melakukan tindakan operasi secepatnya." Ujar perawat wanita itu.
"A-ah benar. Saya keluarga pasien, to-tolong disegerakan mungkin." Jawab perempuan itu ragu menatap staf medis didepannya.
"Baiklah, anda harus mengisi formulir dan juga membayar biaya operasi sesuai peraturan prosedur." Tukas wanita itu setelah memberitahukan persyaratan yang berlaku dan meninggalkan perempuan itu seorang diri.
Mendengar ucapan staf medis itu, perempuan tersebut menganggukkan kepalanya.
"Apa yang harus kulakukan sekarang. Bodoh!. Andai saja aku lebih berhati-hati dalam berkendara, pasti semua ini tidak akan pernah terjadi." Gumam perempuan itu seraya mengacak-acak rambutnya dengan perasaan gusar.
Saat pikirannya yang begitu kalut. Kini perhatiannya tertuju pada benda bertali berbahan kulit milik korban tadi. Tangannya segera meraih benda itu, seraya mencari sesuatu yang Ia butuhkan untuk saat ini.
"Ini dia, syukurlah. Untung saja ada di tas kecil ini. Jika tidak, aku tidak tahu hal apa yang harus kulakukan." Ucapnya segera berlari secepat mungkin meninggalkan ruangan tersebut. Lalu secepat mungkin mengisi data-data sesuai arahan tadi.
***
Tangan yang mulai menampilkan kerutan pada kulitnya itu mengetuk-ngetuk pintu kayu bercat putih dan menampilkan sosok pria paruh baya dengan wajah bingung dari balik pintu tersebut.
"Apa yang sedang kamu lakukan disini?" Tanya Fahad setelah memastikan bahwa pelaku yang datang ke kediamannya adalah mantan istrinya dulu.
"Aku meminta penjelasan kepadamu, mengenai hal yang telah terjadi pada putri kita!." Jawab Astrid menatap mantan suaminya dengan mata yang berkilat dan penuh penekanan disetiap kalimatnya .
Fahad yang mendapatkan tatapan seperti itu hanya mendengus. "Seperti yang kamu lihat, tidak terjadi apa-apa diantara kami. Lagipula aku merasa tersanjung dengan kedatanganmu dikediamanku ini."
"Jangan bicara omong kosong, Mas Fahad!. Katakan yang sejujurnya, apa yang telah kamu lakukan saat berada dirumah sakit waktu lalu. Sehingga Halwa merasa murung akhir-akhir ini." Ujar Astrid sinis sambil menunjuk wajah Fahad dengan jari telunjuknya.
Fahad mencondongkan wajahnya menatap tajam mantan istrinya. " Baiklah jika kamu ingin tahu. Aku tidak setuju dengan pernikahan ini, dan aku bilang kepadanya untuk secepatnya membatalkan rencana pernikahan yang kalian lakukan. Dan kamu, wanita penipu ulung yang memanfaatkan anakmu demi keegoisanmu sendiri."
Plak
Tangan Astrid tanpa sengaja menampar pipi lelaki didepannya. Ia merasa marah dan kecewa mendengar untaian setiap kalimat yang dilayangkan tertuju kepadanya.
"Sudah cukup dengan semua ini. Kamu menuduhku dengan kalimatmu itu, tapi kamu lupa!. Bahwa sebenarnya kamu sendiri yang egois dan memanfaatkan darah dagingmu yang tidak tahu apa-apa. Kamu rela menjadikannya imbalan untuk hutang-hutang judi mu itu, Mas!." Teriak Astrid frustasi dan mencengkram kerah baju yang digunakan Fahad.
Astrid melampiaskan kekecewaan dan amarahnya seraya mengguncang tubuh mantan suaminya itu. Air mata jatuh membasahi kedua pipinya. Tiba-tiba panggilan masuk dari ponsel miliknya, menampilkan kontak dengan nama yang Ia kenali. Segera Ia angkat dan menjauh dari mantan suaminya.
"Assalamualaikum, putriku. Ada apa?"
"Ma-maf, tolong segera kerumah sakit sekarang juga."
"Halo!. Ini siapa? Kenapa ponsel ini berada pada orang lain. Dimana Halwa, apa yang sedang terjadi..." Seketika pikiran Astrid dihantui bayang-bayangan buruk.
"Dia sedang sekarat sekarang, saat ini dia berada dikamar bedah untuk tindak lanjut operasi. Kumohon cepatlah segera datang...Halo? Apa kamu mendengar kan aku? Halo." Ujar perempuan disebrang sana menunggu jawaban dan memastikan panggilannya.
Astrid terpaku mendengar kalimat tersebut. Ponsel yang Ia genggam terjatuh dan hal itu membuat perhatian Fahad menatap serius ibu dari anak-anaknya. Jari-jemari milik Astrid menutup menyentuh bibirnya, tubuhnya bergetar hebat karena ucapan perempuan tadi. Seketika kepalanya berputar-putar, begitu pula pandangan nya yang mulai kabur menatap sekitarnya.
"Astrid, apa yang sedang terjadi? Hei! Sadarlah...Ya Tuhan. "
Fahad menepuk-nepuk pelan pipi Astrid. Untunglah Ia segera cepat menangkap tubuh mantan istrinya. Jika tidak, Ia tidak akan tahu apa yang terjadi selanjutnya. Satu lengannya berada di bawah kaki dan yang lainnya menopang punggung Astrid. Fahad segera membawa masuk tubuh sang mantan istri kedalam rumahnya.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekuntum Mawar Merah
SpiritualeSebuah pernikahan yang direncanakan oleh sang Ibu untuk melindungi anaknya dari ancaman ayahnya. Halwa seorang gadis bercadar yang dijodohkan oleh sang ibu kepada seseorang yang tak pernah ia temui sebelumnya, membuatnya begitu khawatir akan pernika...