Bab 3

554 49 3
                                    

Clarissa duduk di tepi ranjang, matanya kosong menatap jendela kamar yang sepi di tengah malam. Di sekitarnya, barang-barang berserakan, hasil amukannya beberapa waktu lalu. Hatinya gelisah, dadanya terasa sesak. Penolakan Alexandra terus-menerus menghancurkan perasaannya. Pikiran tentang Alexandra menguasai benaknya, siang dan malam, seolah tidak ada ruang bagi hal lain.

Pikiran Clarissa berkecamuk, seperti pusaran yang tidak bisa dihentikan. Gejolak emosinya semakin memuncak, dan setiap detik terasa semakin tak tertahankan. Membuatnya tidak mampu menerima kenyataan bahwa seseorang yang ia cintai dapat menolak dan meninggalkannya begitu saja. Alexandra seharusnya miliknya, hanya miliknya.

Terkadang, ia memeriksa ponselnya ratusan kali sehari, berharap ada pesan atau panggilan dari akun sosial medianya Alexandra. Setiap bayangan penolakan membuat dadanya terasa sesak sehingga membangkitkan rasa marah, cemas, dan frustasi yang menjadi-jadi. Clarissa sering kali terbangun di tengah malam dengan napas terengah-engah, memikirkan bagaimana caranya agar Alexandra bisa kembali ke sisinya. Keinginan untuk mengontrol, memaksa, dan mendapatkan cinta Alexandra dengan cara apa pun membuatnya semakin terobsesi.

Sambil merenung dalam kegelisahannya, tiba-tiba pikiran Clarissa tertuju pada satu hal—video. Sebuah ingatan melintas cepat, dan ia ingat bahwa di ponselnya, ada dua video yang ia rekam diam-diam saat mereka bercinta selama di Inggris dengan mini spy camera. Clarissa tidak pernah menunjukkan video itu pada siapa pun, termasuk Alexandra yang tidak mengetahuinya.

Seketika, ide gila muncul di benaknya. Video itu bisa menjadi senjata. Jika Alexandra menolak untuk kembali padanya secara baik-baik, maka mungkin Clarissa bisa menggunakan cara lain. Senyum tipis terbentuk di bibirnya yang dingin. Mata Clarissa menatap ponsel di tangan dengan tatapan penuh arti, pikirannya mulai merencanakan sesuatu.

"Kalau dia tidak mau kembali padaku ..." Clarissa bermonolog, jemarinya yang gemetar mulai membuka galeri ponselnya. Video itu tersimpan rapi di folder tersembunyi. Dengan rekaman tersebut, ia bisa memegang kendali atas hidup Alexandra.

Seulas senyum dingin terpatri di wajah orientalnya. Ini bukan hanya tentang cinta lagi; ini tentang kekuasaan dan kontrol. "Aku akan buat kamu kembali, Alexa ... Bagaimanapun caranya."

***

Langit perlahan berubah berwarna jingga, menandakan siang akan berganti malam. Alexandra sedang duduk santai di sofa kamarnya, merasakan sedikit ketenangan yang jarang didapat di tengah-tengah kesibukannya sebagai seorang aktris. Namun, ketenangan itu terganggu saat terdengar ketukan di pintu. Rara, asisten rumah tangganya, muncul dengan wajah sedikit tegang.

"Maaf, Non Alex," kata Rara dengan nada tergesa. "Ada seseorang yang memaksa masuk ke pagar rumah. Untungnya, bodyguard Non berhasil mencegahnya."

Alexandra mengernyit, segera berdiri dari sofanya. "Siapa orangnya?" tanyanya penasaran, meskipun hatinya sudah punya firasat buruk tentang siapa yang datang.

"Saya tidak tahu, Non."

Dia keluar dari kamarnya dan berjalan cepat menuruni tangga. Begitu tiba di halaman, pemandangan di depan mata membuatnya menghembuskan napas berat. Clarissa, sosok yang belakangan ini terus mengganggu hidupnya, sedang dicengkeram oleh kedua bodyguard berbadan kekar dan sangar yang Alexandra pekerjakan untuk melindunginya. Sejak Clarissa mulai menunjukkan perilaku obsesif dan kerap menguntitnya, Alexandra butuh perlindungan ekstra, dan ternyata keputusan itu benar-benar berguna.

Clarissa meronta, mencoba melepaskan diri dari pegangan kedua bodyguard itu, tapi usahanya sia-sia. Wajahnya tampak putus asa, namun juga dipenuhi dengan tekad. Mata Clarissa memancarkan obsesi yang sama, membuat Alexandra merasa tidak nyaman setiap kali mereka bertatap muka.

BELENGGU OBSESI CLARISSA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang