Bab 6

381 34 5
                                    

Clarissa menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya sembari jemarinya sibuk memainkan ponsel Alexandra dengan santai. Senyum puas tersungging di wajah saat berhasil mengubah kata sandi media sosial dan email Alexandra satu per satu. Di seberang meja, Alexandra duduk dengan ekspresi muak, berusaha menekan rasa kesal yang meluap-luap. Sambil menyantap roti panggang dan telur, ia menatap tajam Clarissa.

Tanpa mengangkat pandangannya dari layar ponsel, Clarissa bertanya, “Kenapa kamu tidak membawa ponselku? Bukankah kita sudah sepakat bertukar?”

Dengan santainya, Alexandra mengangkat bahu tak acuh. “Ponselmu aku banting ke dinding.”

Clarissa tertegun mendengar jawaban itu. Sejenak ia menatap Alexandra dengan kaget, namun kemudian hanya menghela napas. Ia tersenyum tipis, merasa ada bagusnya juga Alexandra tidak memegang ponsel. Setidaknya, dengan begitu Alexandra tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun. Biarlah ia yang mengatur semuanya, pikir Clarissa, memastikan kontrol atas Alexandra berada di tangannya.

“Kalau kamu ingin menghubungi seseorang, entah itu orang tua, kerabat, atau manajemenmu—aku yang akan mengurusnya,” ucap Clarissa tanpa ragu, memandang Alexandra dengan tatapan mendominasi.

Alexandra menahan diri agar tidak merespons dengan kemarahan, namun tatapannya tak bisa menyembunyikan rasa muak dan lelah yang semakin hari semakin dalam. Ia lekas berdiri, mengabaikan tatapan Clarissa yang menunggu responsnya, lalu melangkah cepat menuju kamar. Rasa dongkol bercampur frustrasi memenuhi benaknya. Begitu pintu kamar tertutup, ia menarik napas dalam-dalam, duduk di tepi ranjang mencoba menenangkan diri. Namun, ketenangan itu hanya berlangsung sekejap.

Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka tanpa izin, dan Clarissa masuk dengan senyuman manis. Mata Clarissa menatap Alexandra penuh intensitas, terlalu lekat, terlalu dalam, seolah sedang menyerap setiap detail dirinya. Alexandra bergidik, tetapi tetap diam, tak ingin memancing reaksi lebih dari wanita di hadapan.

Clarissa melangkah pelan mendekat, senyumnya tidak luntur sedikit pun. “Sayang,” nada suaranya lembut namun mengandung sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Ia duduk di sebelah Alexandra, tangannya terulur untuk merapikan rambut Alexandra yang sedikit berantakan. “Kamu tahu kan, aku hanya ingin yang terbaik untukmu? Segalanya akan lebih baik kalau kita bersama. Kamu cuma perlu mendengarkan dan mengikuti apa yang aku katakan.”

Alexandra mengangguk singkat seraya membuang muka. Clarissa mendekat pada Alexandra, wajahnya hanya beberapa inci dari wanita itu. Ia membelai pipi Alexandra, mengusapnya perlahan.

“Aku tahu, kadang aku terlihat terlalu protektif,” ucapnya dengan ekspresi seolah merasa bersalah, tapi senyum menyeramkan bagi Alexandra itu masih tersemat di wajahnya.“Tapi itu karena aku mencintaimu. Kamu satu-satunya untukku, Alexa. Aku tidak akan pernah membiarkan siapapun merusak ini… termasuk kamu sendiri.”

Tatapan Alexandra menegang, menyadari betapa dalam obsesi Clarissa telah merasuk ke dalam dirinya. Namun, ia menahan diri, memilih untuk tetap tenang dan tidak menanggapi.

Clarissa meraih tangan Alexandra perlahan, lalu mengecup punggung tangannya dengan kelembutan yang terasa ganjil. Bibirnya menyentuh kulit Alexandra, namun tatapan matanya tetap terpaku, seperti memuja sesuatu yang sakral, bahkan nyaris fanatik. Ciumannya tak hanya sekadar kecupan—melainkan penuh gairah yang terlampau dalam, seolah Alexandra adalah satu-satunya makhluk yang ada dalam dunianya, dewi yang ia puja tanpa batas.

Alexandra tetap termangu, perasaannya bercampur aduk antara jijik dan ngeri. Setiap gerakan Clarissa dipenuhi obsesi yang tidak wajar, seakan Alexandra adalah sumber kehidupannya. Clarissa melihat Alexandra sambil tersenyum lembut namun menyeramkan, tangannya tetap menggenggam erat seakan tak mau melepaskan.

BELENGGU OBSESI CLARISSA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang