Bab 4

556 47 11
                                    

Tinggalkan jejak, guys.

Suasana dapur yang digunakan sebagai set lokasi syuting sudah penuh dengan kru dan peralatan. Alexandra berdiri di depan meja dapur, dengan wajah memancarkan emosi yang sedang dipersiapkannya untuk adegan pertengkaran. Lawan mainnya, seorang aktor tampan, berdiri di seberang meja, siap memainkan peran.

Sutradara memberi isyarat dan kamera mulai merekam.

“Kamu pikir semua ini cuma permainan?” Alexandra berteriak, menatap lawan mainnya dengan kemarahan yang terpancar di mata. Ia mengepalkan tangan di atas meja, suaranya penuh luka dan emosi. "Kamu sudah menghancurkan semuanya! Aku nggak bisa percaya lagi sama kamu!"

Sang aktor memandang dengan tatapan tajam, lalu berjalan menghampiri Alexandra. “Aku nggak pernah bermaksud nyakitin kamu!” teriaknya, sebelum meraih bahu Alexandra dan menariknya ke dalam pelukan yang intens.

Alexandra berusaha melepaskan diri, mendorongnya dengan keras. “Lepasin aku! Jangan sentuh aku lagi!” Suaranya bergetar, namun sorotan matanya tetap kuat, penuh kebencian.

Di sudut ruangan, Clarissa terduduk di atas kursi menyaksikan adegan dengan penuh perhatian, sambil memegang beberapa barang kebutuhan Alexandra. Mata Clarissa berbinar melihat performa Alexandra, ia merasa bangga melihat kekasih rahasianya tampil begitu luar biasa di depan kamera. Namun, saat lawan main Alexandra memeluknya dalam adegan tersebut, sesuatu yang lain berdesir dalam dirinya—cemburu yang menusuk.

Clarissa menggenggam erat pegangan tas yang dibawanya, cemburu melihat pria itu bisa memeluk Alexandra meski hanya dalam sandiwara. "Ish menyebalkan," gumam Clarissa dalam hati, meski dia tahu bahwa ini hanyalah bagian dari pekerjaan Alexandra.

Setelah adegan selesai, sutradara mengangkat tangan, "Cut! Bagus sekali, semua. Kita break sebentar." Suasana di lokasi syuting menjadi lebih santai, kru mulai beraktivitas masing-masing, dan para aktor mengambil kesempatan untuk istirahat.

Aktor yang berperan sebagai lawan main Alexandra, Davine, adalah pria berperawakan tinggi dan atletis, dengan rambut hitam yang ditata rapi dan rahang tegas yang memberikan kesan maskulin. Kulitnya sedikit kecokelatan, dan senyumnya tampak menawan serta karismatik. Ia mendekat pada Alexandra sambil tersenyum lebar.

“Alex, aktingmu tadi keren banget. Kamu berhasil banget ngasih emosi di adegan itu. Selalu senang main bareng kamu,” kata Davine dengan nada penuh kekaguman.

Alexandra, yang masih sedikit terengah dari adegan emosional barusan, membalas senyuman Davine dengan lembut. “Terima kasih, Dav. Kamu juga hebat, chemistry kita dapet banget tadi.”

Mereka saling bertukar senyum ramah, namun suasana hangat itu segera terusik oleh kehadiran Clarissa. Ia mendekat dengan langkah cepat, memotong percakapan Alexandra dan Davine.

“Alex. Ayo pergi, kamu harus istirahat dulu,” ucap Clarissa dengan nada sedikit tegang sambil menarik lengan Alexandra, meski sebenarnya itu hanya alasan untuk menghentikan momen antara Alexandra dan Davine.

Davine tampak sedikit terkejut dengan interupsi mendadak itu, tapi dia tetap tersenyum sopan, menyadari situasi yang tak perlu ia perpanjang. Padahal, ia masih betah mengobrol singkat dengan Alexandra.

Clarissa menarik lembut tangan Alexandra, membawanya menjauh dari Davine yang masih berdiri sambil tersenyum canggung. "Ayo istirahat di ruang ganti," desak Clarissa dengan nada pelan namun penuh tekad.

Alexandra yang tampak lelah, hanya melengos tanpa sepatah kata pun. Dia mengikuti Clarissa menuju ruang khusus artis, yang disediakan sebagai tempat istirahat para bintang selama jeda syuting. Namun, Alexandra sebagai pemeran utama memiliki ruangan khusus sendiri.

BELENGGU OBSESI CLARISSA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang