Prolog

1.3K 89 7
                                    

Cahaya pagi merangsek melalui celah tirai, menerangi sebuah kamar apartemen yang berantakan. Selimut kusut tergeletak, pakaian teronggok di lantai dan bantal-bantal berserakan. Di atas ranjang berukuran queen size, seorang wanita dengan rambut panjang sedang tertidur pulas. Alisnya bertaut, mulutnya sedikit terbuka, dan napasnya teratur.

Mata hitam itu perlahan mengerjap. Dia menggeliat, merenggangkan otot dan terdiam sejenak. Pandangannya menyapu sekeliling kamar, lalu berhenti pada tempat tidur yang kosong di sebelahnya. Keningnya berkerut. Kemana perginya wanita yang tadi malam menjadi teman tidurnya?

Malam yang liar, tawa lepas, dan sentuhan-sentuhan panas berkelebat dalam ingatan. Dia tersenyum mengingat betapa menyenangkannya malam tadi. Namun, senyumannya memudar saat ia menyadari bahwa ranjang kini hanya ditempati olehnya seorang diri.

Dengan malas, dia menguap lebar kemudian bangkit dari ranjang dan berjalan menuju meja rias. Mata tajamnya tertuju pada sebuah kamera saku yang tersembunyi di balik kotak tisu. Senyuman manis mengembang di bibir. Dia meraih kamera itu. Detik berikutnya, wajahnya berseri-seri. Rekaman tadi malam akan menjadi miliknya seorang diri.

Dia meraih ponsel yang tergeletak di nakas. Layar ponsel menyala, menampilkan waktu yang menunjukkan pukul sembilan pagi. Tubuh telanjangnya terasa pegal, tapi ia tidak peduli. Malam tadi , begitu memuaskan hati.

Sorot matanya lantas beralih pada jaket kulit hitam yang tergantung di sandaran kursi. Senyuman kembali merekah. Dia begitu menyukai sesuatu tentang wanita itu, semuanya. Termasuk barang-barang sang pujaan yang tertinggal di apartemennya. Dia biarkan seperti itu apa adanya, tidak dibereskan.

Setelah mandi dan berdandan, wanita bermata hitam pekat itu berniat untuk pergi sarapan. Dia berjalan mendekati jendela, menarik tirai sepenuhnya. Pemandangan kota London yang sibuk menyambutnya dari balik kaca. Dia menghirup udara segar yang masuk melalui jendela terbuka.

Empat hari berlalu bagaikan sekejap mata. Namun, baginya, waktu terasa begitu panjang dan penuh dengan kerinduan. Sosok wanita bermata coklat gelap yang telah mengisi hari-harinya dengan warna, tawa dan romansa kini menghilang tanpa jejak. Malam Minggu yang biasanya dipenuhi janji pertemuan, kini terasa hampa dan kelabu.

Biasanya, bar yang menjadi tempat pertemuan awal mereka adalah rumah kedua bagi wanita bermata hitam. Namun, kali ini, langkah kakinya terasa berat untuk sekadar berjalan masuk. Ia merogoh ponselnya, mencoba menghubungi nomor yang sudah dihafalnya. Nada sambung yang panjang berganti menjadi pesan singkat yang menyakitkan: "Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi."

Kecemasan mulai menggerogoti hatinya. Dia mencoba mengingat-ingat setiap detail tentang wanita cantik berwajah blasteran itu. Hanya ada sedikit yang ia tahu: liburan di Inggris, pertemuan singkat di klub malam, dan dua minggu penuh kebersamaan yang tak terlupakan. Seolah-olah wanita itu muncul begitu saja dari kehampaan, lalu menghilang secepat kilat.

Semakin dia memikirkannya, semakin dalam rasa frustasi itu menyelimuti hatinya. Dia merasa seperti sedang mencari jarum dalam tumpukan jerami. Informasi tentang wanita yang dia kagumi begitu minim, seolah sengaja disembunyikan. Dia bahkan tidak tahu nama lengkap wanita itu.

Dalam dua minggu kebersamaan mereka, dia merasa telah menemukan belahan jiwanya. Tawa mereka yang lepas, tatapan mata yang penuh makna, dan sentuhan lembut yang selalu membuatnya candu, perlahan-lahan membangun sebuah ikatan yang begitu kuat. Dia tidak menyangka bahwa perasaan cinta bisa tumbuh secepat itu.

Kini, dia terjebak dalam labirin perasaan yang membingungkan. Di satu sisi, dia ingin melupakan wanita berparas cantik yang telah mencuri hatinya tanpa permisi, lalu melanjutkan hidup. Namun, di sisi lain, hati terus merindukan sosoknya. Dia bertanya-tanya, apakah ini hanya sebuah mimpi indah yang harus segera dia bangunkan? Atau, mungkin saja, ada alasan di balik kepergian sang pujaan?

Hari demi hari berlalu, rasa frustasi semakin mendalam. Dia seperti tersesat dalam labirin kesedihan. Setiap sudut ruangan di apartemennya seakan menyimpan kenangan manis bersama wanita dengan mata indah nan meneduhkan itu. Dia telah mencoba segala cara untuk menemukannya, tapi hasilnya nihil.

Hingga suatu malam, saat dia tengah meringkuk di sofa, matanya tertuju pada sebuah jaket kulit yang tergantung di sandaran kursi. Jaket itu adalah milik wanita bermata coklat yang tertinggal disaat malam terakhir kebersamaan mereka. Dengan gerakan lambat, dia meraih jaket tersebut lalu menghirupnya.

Aroma tubuh dan wangi parfum khas wanita itu seakan membawanya kembali ke masa-masa indah. Dia memejamkan mata, menghirupnya dalam-dalam. "Kenapa kamu pergi begitu saja?" gumamnya lirih. Air mata mengalir deras membasahi pipi.

"Kamu dimana?" lanjutnya, suaranya bergetar. "Aku ingin bertemu." Dia memeluk erat jaket kulit itu, seolah-olah sedang memeluk belahan jiwanya.

Dalam kegelapan malam, dia terus terisak. Ingatan tentang senyum manisnya, pandangan matanya, dan sentuhan lembutnya berputar-putar di kepala. Dia merasa begitu kecil dan hidupnya tidak berarti tanpa kehadiran orang yang begitu ia cintai.

“Kamu di mana, Alexa?”


Visualnya yg di cover . Alexandra baju merah, Clarissa baju abu.



BELENGGU OBSESI CLARISSA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang