Pandangan Pertama

23 2 0
                                    

Siapa yang tidak mengenal Erik Arlando Frey? Seorang kapten basket pemilik wajah tampan dan manly. Suara deep miliknya mampu membuat para gadis merinding. Di tambah aura cool yang senantiasa membuat para gadis menjerit ketika ia berkeringat bermain basket atau sekedar lewat di hadapan mereka. Namun sayang, pria satu ini begitu sulit dimiliki apalagi dengan sifat Tsundere akut yang melekat pada dirinya.

Selain kelebihan di atas, Erik juga termasuk siswa terpintar di kelasnya. Bahkan ia tak pernah keluar dari peringkat 3 besar. Jadi tak heran banyak juga yang menyukainya dan mengesampingkan sikap jutek dan dingin yang ia miliki.

Kelas begitu bising di tambah lagi harus mengerjakan tugas matematika yang di berikan pak Darma ketika beliau ada urusan. Beginilah suasana kelas XII IPA - 1 kalau guru tak ada di kelas. Bukan hanya ribut tak berfaedah, tapi ada juga ribut karena rebutan buku si pintar di kelas biar bisa menyalin jawaban ke buku masing-masing. Dan malangnya si pintar yang bernama Erik Arlando Frey. Buku latihan miliknya tak berupa lagi. Yang semula rapi malah menjadi kumal dan lepas sampulnya. Dan si empunya buku hanya memisahkan diri ke meja paling belakang, ia berkumpul pada dua sahabatnya yang lagi main kartu.

Erik menarik satu kursi lalu memepetkannya pada meja Rifky dan Aldi. Kedua temannya bahkan hanya terlihat santai tanpa mau mengerjakan tugas. "Kalian gak nyontek buku gue? Udah selesai tuh sama anak-anak," celetuk Erik.

"Nanti aja, Rik. Kami hanya perlu waktu seperkian detik buat salin semua jawaban lo," sahut Rifky sambil memilah kartu yang akan ia keluarkan.

"Kita mah sudah pro. Gak perlu berjejalan kayak tuh warga +62," timpal Aldi.

Erik hanya mengangguk mengiyakan celotehan temannya. Ia mengedarkan pandangannya pada arah luar, terbesit di pikirannya ingin menjauh dari kebisingan kelas. Kemudian Erik beranjak, sontak saja kedua sahabatnya menoleh bingung.

"Mau kemana, Rik? Lo ngambek kita cuekin? Sini deh kita main bareng," ajak Rifky menepuk kursi yang tadi Erik duduki.

"Gue mau ke toilet," sahut Erik singkat. "Jangan lupa ambilin buku gue sama mereka," lanjutnya berpaling sebentar lalu melanjutkan langkahnya menuju arah pintu.

"Enak ya jadi orang pintar. Cepat banget selesai ngerjain tugas. Mana di sayang guru lagi. Kalo kena hukuman pasti di kurangin dikit," celetuk Rifky tiba-tiba saja terpikir akan kepintaran Erik miliki.

"Ho'oh. Kadang gue juga heran, gimana caranya jadi orang pintar kayak Erik. Kalo caranya dengan belajar mah sudah gue lakuin," sahut Aldi menatap nanar kartu di tangannya.

"Tapi gak pintar-pintar, kan?"

"Ho'oh, kenapa bisa kayak gitu? Padahal kita juga punya otak yang sehat kayak otak Erik. Tapi tetap aja gue O'on," ujar Aldi menatap Rifky dengan tatapan heran. Rifky hanya manggut-manggut setuju.

Erik yang sudah keluar dari kelas bukan berjalan menuju toilet, tapi menuju temannya dari anggota basket yang lagi istirahat di pinggiran lapangan usai olahraga. Haris namanya, dia termasuk yang paling jago dalam tim basket mereka.

Erik menepuk pundak Haris lalu duduk di sebalahnya. Haris menoleh lalu kembali menatap cewek-cewek yang lagi main bulutangkis.

"Lo gak ada pelajaran, Rik? Apa pak Darma gak masuk lagi?" tanya Haris tanpa menoleh pada Erik.

"Iya. Katanya ada urusan jadi pak Darma gak bisa masuk. Cuma titip tugas doang," sahut Erik.

"Pak Darma sih udah jadi kebiasaan banget gitu, kan? Bilang ada urusan terus titip tugas banyak banget. Mana matematika lagi. Di tambah lagi kurang penjelasan saat belajar karena banyaknya pr yang harus di koreksi. Sampai dikit doang catatan gue," celoteh Haris panjang lebar. Haris memang suka berkata dengan sedetail-detailnya.

"Ya gak apalah. Banyak juga murid yang senang kalau di tinggal pak Darma. Jadi gak ada yang ngawasin seperti biasa," sahut Erik. Matanya terus mengedar mengamati para murid yang sedang bermain basket, juga bulu tangkis.

"Yang tinggi dong, Dew. Lo mukul letoy banget!" ucap gadis cantik bertubuh mungil. Dia siswi baru pindahan dari Surabaya. Namanya Abel Sheila Puri.

"Kalo tinggi-tinggi emang lo sampai gitu mukulnya balik?" tanya Dewi sedikit menyindir.

"Coba aja dulu."

Dewi pun mengambil ancang-ancang agar bola kok yang ia pukul bisa lebih tinggi sesuai permintaan Abel. Dan saat pukulan kencang Dewi, bola kok itu tak dapat Abel gapai. Alhasil bolanya tersangkut di atas pohon. Dewi langsung mencerca Abel.

"Tuh kan apa gue bilang? Gegayaan sih mau gue pukul tinggi-tinggi. Gak bisa mukul kan lo!" omel Dewi.

"Yah maaf. Gue ambilin deh bolanya," cicit Abel mengerutkan bibir mungilnya.

"Emang bisa?" tanya Dewi mendekat pada Abel yang berjalan menuju pohon pinggir lapangan.

"Kecil gini gue jago manjat pohon. Nih coba lo liat gue naik," ujar Abel bangga, lalu mulai memanjat pohon yang lumayan tinggi.

"Turun deh, Bel. Nanti jatuh remuk deh tuh badan mungil lo!" ucap Dewi cemas. Ia mendongkak mengawasi Abel yang naik semakin tinggi.

Abel terus berusaha memanjat lebih tinggi agar dapat mencapai bola kok yang tersangkut. Dan dengan satu langkah lebih tinggi, akhrinya bola kok sudah ada di tangan Abel.

"Nih Dew, lo lihat kan gue bisa ambil bola ini," pamer Abel dari atas pohon.

"Ya udah ayo turun! Gue gak deg-degan kalo gini caranya!" Dewi malah resah melihat Abel yang berada di atas pohon yang tinggi.

Abel terlihat bingung bagaimana cara ia akan turun. Ia melupakan dirinya yang jana naik pohon, namun kurang hilai cara turun dari pohon tersebut.

"Ini gimana cara turunnya ya, Dew?" ucap Abel dengan wajah bingung yang kentara.

"Eh, jangan ngadi-ngadi lo, Bel. Serius lo gak bisa turun?" tanya Dewi panik.

Sementara itu tak jauh dari mereka, Erik memperhatian Abel yang berada di atas pohon. Sampai suara seruan dari seseorang membuatnya menoleh.

"Erik! Ambilin bolanya dong!" seru Deni, temannya dari tim basket juga. Cowok berkulit tan itu terkapar karena lelah di lapangan.

Erik menoleh pada bola basket yang menggelinding tepat di bawah pohon tempat Abel bertengger.

"Bentar,"ujar Erik lalu berjalan menuju pohon itu.

Dewi sudah fruatasi melihat Abel yang masih berusaha untuk turun. Namun, kaki pendek gadis itu tak mampu mencapai dahan dengan mudah. Berkali-kali ia menyentakkan kakinya ketika ujung sepatu tak berhasil menemukan dahan yang ingin ia pijak.

"Gue panggilin Pak Herman, ya? Biar lo dibantu turun!" seru Dewi.

"Jangan! Gue bisa kok. Jangan malu-maluin deh," sahut Abel heboh.

Tiba-tiba atensi Dewi teralih pada Erik yang melewatinya mengambil bola di bawah pohon.

"Eh, lo Erik, kan? Bantuin temen gue dong turun. Noh dia di atas," pinta Dewi sambil menunjuk Abel di atas sana.

"Gue juga gak bisa naik pohon," sahut Erik seadanya.

Belum lagi Erik melangkah, suara teriakan Abel membuatnya sontak menengadah dan menyambut tubuh mungil yang terpeleset dari atas pohon.

"Mati gue!" teriak Abel panik begitu ia terjatuh. Tapi sedetik kemudian, dia membuka matanya karena tidak merasakan sakit sedikitpun.

"Eh, kok ngegantung?" gumam Abel menoleh ke bawah lalu beralih menatap seseorang yang telah menyambutnya.

"Cowok ganteng," ucap Abel tersentak tanpa sadar mengucapkan hal itu.


-Bersambung-

TSUNDERETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang