Melihat moment dramatis Erik dan Abel, seketika para siswa dan siswi yang melihat secara kejadian itu bersorak. Bukan apa, tetapi siapa yang tak terkejut melihat seorang Erik mengendong cewek di depan umum. Terlebih cewek itu adalah murid baru yang baru saja bergabung di sekolah mereka minggu lalu.
"Mau sampai kapan nge-dramanya?" tanya Haris sontak membuat Erik tersadar dari tatapan pada sosok gadis mungil yang ia gendong.
Bruk
"Awww!" pekik Abel ketika Erik tiba-tiba menjatuhkan badannya. Rasa ngilu menjalar pada sikut dan bokongnya. Abel mencebik menatap cowok yang menjulang tinggi tersebut.
"Eh, kok dilepasin sih teman gue. Sadis lo yah!" protes Dewi pada Erik. Gadis itu langsung membantu Abel bangkit dari posisinya.
Sementara Erik, ia melirik sekitarnya dengan perasaan tak nyaman. Hatinya mengumpat kesel dengan apa yang terjadi barusan. Tanpa mengatakan apapun ia langsung pergi dari sana. Mengabaikan teriakan kesal Dewi yang telah ia abaikan tadi.
"Erik! Gila lo ya!" teriak Dewi.
"Dewi, udah!" tegur Abel dengan cepat. "Gue nggak papa," lanjutnya sambil tersenyum malu.
Dewi menatap ngeri sahabatnya sendiri. "Nih juga kenapa dah? Lo barusan dihempasin sama dia, Bel. Marah nggak lo!"
"Ngapain marah si?" tanya Abel sembari mengedipkan matanya. "Target gue udah muncul hilalnya. Aws," ujarnya centil sambil menggigit bibir.
Dewi geleng-geleng dengan tatapan tak percaya. "Wah, nggak bener nih. Parah lo, Bel. Kemasukan jin pohon apa gimana lo?"
Abel hirau, ia berjalan melenggak-lengok sambil terus tersenyum membayangkan adegan dramatisnya bersama Erik tadi.
Di sisi lain, langkah panjang Erik membawa dirinya memasuki kelas kembali. Ternyata suasana kelas sangat hening dan semua murid duduk di tempatnya masing-masing. Awalnya Erik sedikit bingung, tapi ia memilih tetap melangkah menuju kursinya. Hingga suara berat menghentikan langkahnya.
"Kamu tidak menganggap saya yang duduk disini, Erik?" suara itu sontak membuat Erik berpaling dan matanya membola sempurna. Pak Helmi, guru bahasa Inggris telah duduk di tempat guru. Mungkin karena Erik terlalu gugup atas kejadian tadi, hingga ia kurang fokus pada keadaan.
"Eh, maaf Pak Helmi. Saya kurang fokus tadi " ucap Erik menunduk dengan sopan.
"Mikiran apa kamu jadi kurang fokus?Terus kenapa kamu baru kembali ke kelas? Kata Rifky kamu ke toilet saat pelajaran matematika, sedangkan jam saya sudah berlangsung 15 menit. Kenapa baru datang?" tanya Pak Helmi dengan nada sedikit ketus. Beliau memang terkenal tegas dengan anak murid bahkan dengan guru lain sekalipun.
"Maaf, Pak." Hanya itu kata yang mampu dilontarkan Erik kembali. Dalam posisi ini ia bingung harus bereaksi bagaimana. Ia salah, tetapi bingung harus mengungkapkannya bagaimana selain meminta maaf.
"Saya tidak bisa menerima murid yang terlambat masuk di kelas saya. Kamu bisa ambil buku latihan dan buku paket kamu. Kerjakan 50 soal sampai waktu istirahat tiba," ucap Pak Helmi menyudahi. Erik mengangguk lalu berjalan mengambil bukunya.
Rifki curi-curi pandang ke Pak Helmi sebelum ia mengajak Erik bicara. Erik yang sedang mengambil buku pum menoleh pada sahabatnya itu.
"Yang sabar ya, bro. Gue bantu doa deh sama Aldi," bisik Rifki dibarengi anggukan Aldi di sampingnya. Sementara Erik hanya mengangguk malas lalu berjalan menuju ke arah pintu berada.
Helaan napas Erik begitu sampai di pinggir lapangan tempat yang tadi ia duduk bersama Haris. Erik membuka buku paket bahasa Inggris itu malas, lalu mencatat soal pada buku latihannya. Walau termasuk siswa yang pandai, tetapi Erik tak serajin itu. Ia akan berusaha meminimalisir kegiatan yang memakai kinerja otaknya terlalu banyak.
Selang beberapa menit membuat Erik merasa pegal. Menjadikan kursi sebagai meja dan tempat duduk, membuat bahunya tidak nyaman.
"Huh, ini semua gara-gara cewek kerdil itu. Kenapa pakai jatuh pas gue di bawahnya sih!" gerutu Erik. Ia tak menyadari kalau ada seseorang yang menghampirinya.
"Siapa maksud lo cewek kerdil?" Suara sedikit cempreng itu membuat Erik tersentak lalu berbalik. Tampak cewek yang ia tolong tadi berkacak pinggang menatapnya tajam.
"Kenapa lo kesini? Mau ucapin terimakasih? Gak perlu!" ucap Erik sinis.
"Tadinya sih iya, tapi gak jadi. Gak nyangka aja cowok yang tolongin gue tadi judes kek lo. Ganteng sih, tapi ketutupan sama judesnya," cibir Abel dengan bibir mencebik.
"Kalo gak jadi, udah sana! Kenapa masih disini?" usir Erik ketus. "Gara-gara lo, gue jadi dihukum sama Pak Helmi. Lagian jatuh gak elit banget di pangkuan gue. Kudu gitu jatuh tepat banget di gue?" pungkasnya penuh kekesalan.
"Eh, judes! Lagian siapa yang mau jatuh di pangkuan lo? Gue juga gak sudi tuh, kalau tahu yang sambut gue cowok modelan kayak lo!" cerca Abel masih dengan gaya yang sama, berkacak pinggang dengan berani.
"Ya udah sana! Jangan ganggu hidup gue lagi!" usir Erik. Kemudian cowok itu kembali fokus pada bukunya.
Abel mencebik kesal. Cokelat yang tadi ia simpan di sakunya, ia patah dan melempar tepat di kepala Erik, membuat cowok itu tersentak kaget. Dengan kaki yang dihentakkan keras, Abel pergi meninggalkan Erik.
"Apaan sih tuh cewek," oceh Erik seraya meraih potongan cokelat yang patah menjadi beberapa bagian. "Cih, dia sengaja beli cokelat buat nimpuk gue. Dasar cewek kerdil!" umpat Erik melempar cokelat itu ke sembarang arah.
Sementara itu, Abel merengut memasuki kelasnya kembali. Ia langsung duduk di sebelah Dewi yang lagi maskeran. Jam pelajaran kosong ada saja tinggah para murid di dalam kelasnya.
"Kenapa lo, Bel? Kapok gak deketin Erik?" tanya Dewi santai sambil merapikan maskernya. Ia sudah hapal dengan watak Erik yang sangat sulit untuk didekati.
"Songong banget ya tuh, Erik. Judes banget sumpah! Belum juga gue ngomong. Nyesel gue mau kasih cokelat dan ngucapin terimakasih," cerocos Abel dengan nada bicara menggebu-gebu.
"Kan sudah gue bilangin sama lo. Si Erik itu orangnya jutek banget. Tsundere banget deh. Tapi gue dengar dari sohibnya, Rifki dan Aldi. Dia orangnya baik kok."
"Ya tapi gak judes juga sama gue. Terus pake ngatain gue anak kerdil lagi. Kerdil, Dew! KERDIL!" Abel memekio nyaring mengucapkan kata terakhirnya itu.
"Ahahahah! Emang Erik kalo ngomong suka pas gitu," gelak Dewi tak mampu menahan tawanya. Definisi temenan awet ya seperti ini. Tega, ngeledek, dan saling membantu.
"Diam lo! Gue lagi kesel nih. Orang kayak gitu pasti gak akan laku. Mana ada yang mau pacaran sama cowok judes kayak dia, " ujar Abel mencibir.
"Bukan dia gak laku, tapi gak ada yang tahan sama dia. Katanya sih Erik itu gak memberi mereka kepastian apapun. Tsundere mana bisa ngomong cinta sih. Bisa jadi dia nggak pernah jatuh cinta," ungkap Dewi.
"Gue bisa kok. Buktinya aja si Rangga ketua Osis di sekolah gue yang dulu. Dia itu terkenal Tsundere banget. Dan gue dengan mudah membuat dia ucapin kata cinta ke gue!" ujar Abel dengan bangganya.
"Seriusan lo? Yakin bisa luluhin Erik? Gue mah gak percaya ya" cibir Dewi membuat Abel mencebik.
"Bisa lah. Gimana kalau kita taruhan. Gue bakal jadi budak lo selama sebulan kalau gue gagal dapat kata cinta dari Erik dan jika gue berhasil, traktir gue selama sebulan di kantin. Gimana? Berani gak" tantang Abel mengulurkan tangannya.
"Oke deal," ucap Dewi berjabatangan dengan Dewi. Ia sudah dapat menebak, tak ada yang sanggup membuat Erik mengatakan kata cinta.
- BERSAMBUNG -
KAMU SEDANG MEMBACA
TSUNDERE
Teen FictionSeberapa menyebalkan sih cowok tsundere itu? Tanyakan pada Abel, si gadis mungil yang jatuh cinta dengan cowok spek batu hidup yang sialnya tampan sekali. Cowok perawakan jangkung yang membuat Abel kesemsem itu bernama Erik Arlando Frey. Sudah dingi...