Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan kami yang selamat
"Kalian disini?, aku dan Fang udah mencari kalian selama 2 hari loh di sekolah ini. Dan akhirnya kami ber - dua ketemu kalian, sunshine apakah kau tidak apa - apa?,". Itu adalah Thorn.Tak lama kemudian, suara teriakan terdengar.
"Itu Geng elemental kan?,".
"Weh, dimana Halilintar sih?,".
"Oh, iya Taufan juga,".
"Sadar ngak sih, tatapan Solar ngak ada kehidupan?,".Senyap
"Yang paling utama, mereka pakai seragam putih abu - abu. Dan banyak debu di seluruh tubuh mereka,".Senyap lagi.
"Mayat pak tim SAR!, itu di lab Bahasa,". Yang teriak itu Hana, kelas 10 atau kelas junior. Dan para polisi membawa karung yang di tidurkan, yang di dalamnya adalah mayat teman mereka."Komandan mayat dengan inisial R telah di temukan di atap lantai kelas 3. Padahal kita punya jejak alat pem - bunuhan dan laporan, jika ada bau busuk di rumah besar disekitar tempat beribadah Kristen,".
"Hm.. Kamu benar, bawa saja semua jenazah untuk di teliti serta proses otopsi. Rendra, apakah sudah semua?,".
"Siap kapten, ini mayat guru baru menurut data di sekolah ini. Hanya dia yang tubuhnya normal dengan tusukan lumayan dalam di jantung nya, dia ditemukan di luar sekolah,".
Kapten mengangguk, lalu menatap para siswa yang masih menggunakan putih Abu-Abu. Padahal ini kan hari Kamis, lalu menatap remaja yang masih memeluk bocah berkacamata.
"Aku tau kalian trauma, dilihat dari orang yang berkacamata itu. Jadi, bapak akan menyuruh kepala sekolah untuk diliburkan pembelajaran entah itu daring maupun luring, sekian dari pihak kami undur diri,". Kami yang selamat mengangguk, lalu berjalan ke luar dari area sekolah dengan banyak pikiran.
Melihat semua sahabatnya pendiam, Fang dan Thorn diam saja. Apalagi Blaze masih memeluk Gempa sambil menangis, sedangkan Ice masih terus memandangi tangan kanannya. Beruntung Solar memeluk tubuh Ice, karena dia nyaman juga.
Seminggu telah berlalu, atas bantuan duit kak Voltra. Akhirnya kasusnya di pecahkan
"Kami dari pihak polisi mengatakan, jika permainan terkutuk ini dilarang diperjualbelikan dan produksi. Dan yang bersangkutan telah setuju untuk tidak memproduksi, karena memang kita tidak boleh untuk mempercayai mitos,".
"Betul, jadi karena bukti cakaran di korban itu pasti ulah serigala eksperimen. Tetap jaga diri dan kesehatan,". Akhirnya sekolah benar - benar tutup untuk sementara dan menghilangkan semua aura negatif, bahkan para kyai di undang untuk menyejahterakan pembelajaran baru.
Ah, itu adalah kejadian 2 tahun lalu. Sebab sekarang, angkatannya Gempa udah kelas 3 bersamaan dengan angkatan Petir yang baru memasuki kelas 10. Untungnya, mereka sedikit mencar kelasnya. Jadi harapan buat kejadian lalu ngak terjadi, tapi satu yang belum bisa dipecahkan masalah nya. Itu tentang kasus Rimba, karena ngak ada bekas sidik jari siapapun.
Dan para polisi masih menyiasati walaupun tubuh Rimba udah di kubur, takutnya ada jin iseng yang menyerupai itu bocah untuk menakut - nakuti karena emang ada yang hilang dari bagian tubuhnya. Ck, big No.
Hari ini, seorang remaja sedang menatap bingkai foto. Kenangan itu terasa segar di ingatannya, kenangan yang manis namun satu - satunya yang membuat hati tidak rela.
"Bang Volt, temen Petir mau diskusi di sini boleh?,". itu adik terakhir Voltra yang dia punya, sambil menyipitkan mata dia bertanya.
"Soal kasus Rimba?, ada syaratnya. Kalian semua harus belajar bersama di awasi abang, gimana Petir setuju ngak?,". Tatapan Petir tertuju pada kalung merah darah dan hitam, tatap annya menyendu.
"Boleh, tumben peka bang,". Petir mengeluarkan HP untuk menulis pesan di WA, sedangkan Voltra cuma menghela nafas lelah.
"Duduk tu yang laki dong Tir, ck. Cuek dibilang ngak perhatian, perhatian dikit dibilang juga. Serba salah emang,". Ngak tau aja si Voltra, lagi di ketawain adik yang paling laknatnya.
"Petir, kakak ke kamar bentar. Ada berkas yang harus kakak isi untuk daftar kerja,". Voltra meninggalkan Petir yang cuma melihat dengan HP sang kakak yang tergeletak di meja.
Saat Petir ingin membaca buku sejarah di rak bawah, ah dia di ruang tamu tapi ada rak buku kecil didekat sofa. Menutupi cendela kaca, seketika hawa turun jadi lebih dingin.
"Perasaan ngak ada Ac di ruang tamu, ah sudahlah baik baca,".
Belum sempat baca 2 kata pun, mati lampu. Yang anehnya si Voltra ngak teriak - teriak kaya kucing kepanasan, hawanya jauh lebih dingin. Merinding disco lah si Petir, berusaha mengusir rasa takutnya. Petir ber sholawat dalam hati, dan duduk tenang di sofa sambil menghayati sholawat dan sedikit hafalan. Dikala tenang, Tiba-tiba bahunya kena pegang"Petir, ini Tanah. Bangun dong, elu kenapa sih?,". Kubuka mataku dan terang, hawanya jadi seperti biasa. Kulihat si Tanah khawatir, aku menepuk bahunya pelan dan meng - angguk. Seolah gue emang baik - baik saja, padahal kan baru di bawa ke alamnya para jin dan setan.
Meletakkan bukunya ke meja, ber - samaan dengan muka si Voltra yang sangat pucat dengan muka datar. Bukan, itu penampakan si kakak kedua. Halilintar, entah mengapa Petir yang bukan Indigo bisa ngeliat.
Petir berusaha mencerna apa yang ingin halilintar katakan, dia memegang rambut lalu leher terus menunjuk ke gelangnya yang seharusnya punya petir. Kalau kak Solar tau, gua ngak bakal kesulitan