-----------------------------------------------------------------
Suara bising mesin-mesin di ICU memekakkan telinga. Pansa berdiri tepat di samping Love yang terbaring dengan perban di kepala, penyangga di leher, gips di tangan kanannya dan kedua kakinya. Selang ventilator terpasang di mulutnya, selang infus di tangan kiri, dan selang makanan di hidungnya. Wajahnya terlihat sangat pucat dengan beberapa memar.
"Taa, maafin aku. Aku gak pantes dapetin maafmu. Bangun ya, aku gak akan bikin kamu kesel lagi. Kamu belum liat buku tabunganku kan? Udah lebih dari punya Kaluna. Kamu gak perlu kerja lagi, aku bisa biayain kamu sampe tujuh turunan," ucap Pansa dengan suara seraknya karena ia tidak bisa menghentikan tangisnya. Tangannya menggenggam tangan Love cukup erat. Ia menyeka air matanya kasar agar tidak membasahi tangan Love.
Setengah jam berlalu dengan cepat, pasien yang berada di ruang ICU hanya diperbolehkan dikunjungi keluarga selama tiga puluh menit dalam sehari. Sudah tiga hari Love masih belum juga sadar. Kondisinya di hari pertama benar-benar buruk, beberapa kali ia mengalami gagal jantung karena cedera di kepalanya yang cukup parah. Dihari kedua kondisinya mulai membaik.
Pansa berjalan keluar menghampiri kedua orang tuanya dan juga orang tua Love yang sudah menunggu dirinya di ruang tunggu ICU. Ia berjalan pincang dengan dibantu kruk siku. Luka di kaki kananya harus mendapat empat jahitan, beruntung kaki kirinya hanya tergores sehingga tidak perlu mendapat jahitan. Ia kembali menangis saat Bunda Love dan Mamanya memeluk dirinya. Berkali-kali ia menyalahkan dirinya sendiri namun kedua orang tua mereka saling menguatkan dan percaya bahwa yang terjadi memang sudah menjadi jalan yang Tuhan beri karena kasihnya tidak pernah salah alamat.
Seminggu, dua minggu, tiga minggu berlalu dengan cepat. Semua terasa cepat, namun Pansa merasakan sebaliknya. Hidupnya terasa berjalan sangat lama saat tidak bersama dengan Love. Ia benar-benar kehilangan arah hidupnya, penampilannya berantakan dan terlihat sangat lusuh. Sudah seminggu Love dipindahkan ke ruang perawatan untuk pemulihan. Kondisinya sudah cukup membaik dari sebelumnya.
Pansa selalu menemaninya. Walaupun ada kedua orang tuanya dan orang tua Love ia tidak pernah mau bergantian untuk berjaga. Selama tiga minggu ia benar-benar tinggal di rumah sakit. Membasuh badan Love, mengajaknya mengobrol dengan lelucon bapak-bapak yang sangat Love benci.
Hari itu ada Namtan dan juga Racha yang menemani Pansa. Selain kedua orang tuanya, kedua tetangganya itu juga sering menemani dan juga menghiburnya. Jika tidak ada kedua tetangganya mungkin kondisi Pansa tidak sebaik sekarang. Seperti biasa, Racha membawa beberapa makanan yang ia masak untuk Pansa makan.
"Hari ini gue bikin sandwich."
"Makan dulu, Sa. Ini dibikin dengan cinta, soalnya kita bikinnya sambil bercint---"
Racha langsung mencubit lengan Namtan dengan cukup keras. "Kamu suka ngawur."
Pansa tersenyum dan menghampiri keduanya yang sudah duduk di sofa ruangan tempat Love dirawat. Ia mengambil sepotong sandwich buatan Racha dan mulai memakannya. Semua makanan yang masuk mulutnya terasa hambar. Ia tidak lagi bisa merasakan manis, sedap, dan asam. Ia hanya merasakan pahit. Bagaimana ia bisa makan enak sedangkan Love harus dibantu selang makanan yang terpasang di hidungnya. Ia merasa tidak adil, namun ia harus tetap sehat agar saat Love terbangun ia ada di sampingnya.
"Gue minggu depan udah di pindah. Lo kalo ada apa-apa kabari gue atau si Racha."
"Makasih ya Cha, kalo waktu itu gak ada lo mungkin gue sekarang gak bisa berdiri karena luka gue yang infeksi."